Minggu, 27 Juli 2008

Dongeng

“CERITAKAN padaku sebuah dongeng. Apa saja,” demikian pesan pendek itu tertulis dalam layar handphone-ku. Di bagian atas pesan itu tertera nama seorang gadis remaja yang belum lama ini aku kenal di suatu tempat di kotaku.

Malam yang berhujan. Daun-daun riuh oleh tikaman air yang lebih meniru rupa jutaan lidi-lidi tajam yang dihempaskan begitu saja dari langit. Lensa kaca mataku tiba-tiba terasa perlu digosok. Stasiun Kereta Api Gubeng – Surabaya, di mana aku menunggu sebuah kereta berangkat ke Banyuwangi kemudian akan menyambungkan perjalananku ke Denpasar dengan bus milik perusahaan kereta itu juga, mendadak jadi sesuatu yang serba kelam, tua dan seperti telah lama sekali ditinggalkan.

Apa gerangan maksud gadis remaja itu tiba-tiba meminta aku mendongeng? Aku tak segera menanggapi pesan pendek itu. Dalam gemuruh hujan yang kian deras, aku mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan saat aku mengenalnya pertama kali.
***

ADA cahaya merah remang yang seperti tersipu di ruang seluas lima belas kali dua puluh meter itu. Ada denting gelas dan botol-botol softdrink bercampur bau tipis alkohol di antara alunan nomor-nomor jazz ringan yang merambat singgah ke setiap meja. Ada berbagai bau parfum yang juga merambati ruang bersama udara delapan belas derajat Celcius yang dihembuskan empat buah AC di langit-langit. Ada suara-suara tawa dan gumam yang tertahan dari hampir setiap meja. Kafe, ya kafe kecil itulah yang mempertemukan kami pertama kali.

Sesudahnya, sekali pernah kami bertemu di taman kota sore hari. Waktu itu aku mendapat kesempatan dari mantan istriku untuk mengajak dua anak-anak kami yang kini kelas empat dan kelas satu sekolah dasar untuk berjalan-jalan. Aku bertemu gadis remaja itu dengan seorang pemuda gondrong bersemir merah di dalam sebuah sedan yang diparkir di bawah pohon palem. Dia yang menyapa lebih dulu.

“Inikah anak-anakmu?” ujarnya seraya keluar dari sedan itu. “Sudah besar-besar ya. Kapan ke sini?” tanyanya lagi seraya mencoba menyalami kedua anakku yang terlihat bingung karena merasa tak mengenalnya.

“Sudah seminggu. Mari, kami mau jalan-jalan dulu,” potongku cepat. Aku melihat anak muda gondrong di dalam sedan itu agak terganggu oleh kehadiranku dan anak-anak.

“Hati-hati ya. da da...,” gadis remaja itu melambaikan tangan sembari masuk lagi ke dalam sedan.

Pernah pula aku melihatnya sekitar jam sembilan malam keluar dari dalam kafe tempat kami bertemu pertama kali. Kami tak sempat bertegur sapa. Aku yang baru datang dan memarkir motor, hanya sempat melihatnya tergesa masuk ke sebuah van warna gelap lalu melesat menembus malam.

Terakhir aku melihatnya masih dengan seragam sekolah di sebuah swalayan menjelang petang. Aku melihat gadis remaja itu di etalase sepatu. Dia tampak gembira sekali melihat-lihat pajangan sepatu sehingga tak sempat melihatku. Pundaknya dipeluk oleh seseorang, lelaki setengah baya yang saat itu masih berpakaian safari kantor – mungkin ayahnya. Dan aku tak ingin mengganggunya. Aku cepat-cepat berbelok ke lorong lain menuju pusat barang elektronik.
***

“CERITAKAN padaku sebuah dongeng. Apa saja,” demikian malam ini gadis remaja itu menulis pesan pendek ke handphone­-ku. Malam yang berhujan. Daun-daun riuh oleh tikaman air yang lebih meniru rupa jutaan lidi-lidi tajam yang dihempaskan begitu saja dari langit. Lensa kaca mataku tiba-tiba terasa perlu digosok. Stasiun Kereta Api Gubeng – Surabaya, di mana saat itu aku menunggu kereta berangkat ke Banyuwangi, mendadak jadi sesuatu yang serba kelam, tua dan seperti telah lama sekali ditinggalkan.

Masih juga aku belum menanggapi pesan pendek itu. Setelah merangkai kembali kepingan-kepingan kenangan perkenalan dan perjumpaan kami yang beberapa kali itu, aku masih bertanya-tanya sendiri, penasaran. Apa maksud gadis remaja itu tiba-tiba meminta aku mendongeng? Adakah ia pikir aku selama ini tukang dongeng? Ataukah dia sedang menyindir bahwa apa-apa yang aku kerjakan sebagai wartawan selama ini hanya dongeng? Aku jadi gelisah. Kalau demikian, berarti aku harus bertemu dengannya, menjelaskan bahwa semua yang menjadi berita-berita di koranku itu fakta adanya. Sama sekali bukan dongeng. Bahwa, aku bukan pendongeng.

Ah, tiba-tiba dia memintaku mendongeng. Jangan-jangan dia serius dan memang ingin sekali didongengi. Tapi kenapa dia menyuruhku dan bukan orang lain? O, mungkin dia tidak punya orang lain. Setidak-tidaknya, mungkin dia tak punya kakak atau ibu atau nenek yang bisa mendongeng untuk dirinya. Baiklah, aku siapkan sebuah dongeng. Di dalam kapal saat suatu kali menyeberang di selat Bali, aku pernah membeli sebuah buku dongeng. Aku masih ingat beberapa dongeng di dalamnya dan bisa saja aku ceritakan pada gadis remaja itu sekarang.

Tapi tunggu! Jangan-jangan dia benar-benar sedang menyindirku. Dengan kata yang lebih kasar, sesungguhnya dia berkata bahwa apa yang kukerjakan selama ini yang kemudian kusebut sebagai berita-berita, sebagai laporan utama, opini dan sebagainya itu baginya tidak lebih sebagai sebuah dongeng pengantar tidur. Sialan, aku tersinggung. Aku bingung.

“Tapi, memang adakah yang bukan dongeng di dunia ini? Apakah yang sesungguhnya bukan dongeng?” Seorang perempuan tua di sebelahku – yang sama-sama menunggu kereta berangkat – yang dengan terpaksa aku tanyai dongeng apa yang bagus untuk seorang gadis remaja, balik bertanya.

“Tentu saja banyak, Bu,” jawabku hormat.

“Apa misalnya?”

“Hm, banyak. Banyak sekali. Misalnya...,” entah kenapa aku tiba-tiba lambat sekali berpikir.

“Ayo, apa yang bukan dongeng? Demokrasikah? Pemerintahkah? Ataukah barangkali rakyat macam kita yang bukan dongeng?”

“Astaga, Bu! Saya, saya hanya....”

“Sebentar! Saya juga mau tanya kepada sampean, apa yang bukan dongeng?” Perempuan tua itu bertambah ngotot.

Aku mulai merasa njelimet. Hanya gara-gara bertanya dongeng apa yang bagus untuk seorang gadis remaja, seorang perempuan tua bahkan tiba-tiba menjadi begitu marah. Maka aku diam. Aku biarkan entah apa lagi yang dikatakan perempuan tua di sebelahku itu.

Aku jadi teringat berbagai berita buruk yang aku tulis dan juga ditulis teman-temanku sesama wartawan di berbagai media massa. Ada yang menulis berbagai bencana, soal kemiskinan, ketakadilan, soal korupsi di berbagai instansi, manipulasi besar-besaran di berbagai bank dan di berbagai sumber keuangan milik negara. Adakah berita-berita mereka itu telah bisa memperbaiki atau setidaknya merubah keadaan menjadi lebih baik? Ada juga yang menulis soal berbagai pembunuhan di berbagai tempat. Apa pula maksudnya? Adakah laporan-laporan mereka itu untuk membuat orang-orang menjadi ngeri dan menyadari bahwa pembantaian itu adalah sesuatu yang keji dan tak manusiawi? Tetapi kenapa setiap keesokan harinya masih saja ada pembunuhan dan pembantaian-pembantaian baru yang kembali ditulis dan diberitakan? Bahkan, kenapa dalam sebuah bangsa terus saja ada pembantaian satu sama lain yang tak kunjung henti? Kenapa sebuah bangsa bisa saling bantai dan saling melenyapkan satu sama lain?
Aku makin jelimet. Kalau begini terus aku bisa mampus sendiri di tengah-tengah tertawaan orang yang melihat aku sebagai binatang aneh dengan sesuatu yang keluar menjulur-julur dari kepalaku.

Maka, baiklah adik, aku dongengkan saja untukmu sesuatu yang paling sederhana: cinta!

Dan kereta api berangkat. Maka dalam kereta yang bergemuruh merangkaki malam itu aku pun mendongengkan sebuah cinta. Aku terus mendongeng, sampai gadis remaja itu benar-benar terlelap di sebuah kamar, entah di mana.***


Surabaya – Bali, suatu malam

Read More......

Ke Setiap Rumah Lelaki yang Menjadi Ayah

“PERNAHKAH ayah berpikir, bahwa cukup pantaskah ayah disebut seorang pahlawan bagi kami?” tiba-tiba lima anak saya bertanya serempak. Pertanyaan itu mereka utarakan ketika saya sedang bersantai menikmati cuaca sore yang cerah di kebun belakang rumah kami yang sederhana, di atas kursi goyang antik oleh-oleh salah satu menantu, di tengah hamparan rumput kasur nan hijau, di antara berbagai tanaman perdu tertata rapi, di sudut barat laut kolam kecil buatan seorang tukang taman paling ternama di kota kami.

Saya terkesima. Takjub memandang mulut-mulut yang menempel indah di wajah anak-anak saya dari yang paling besar hingga yang paling bontot itu. Saya terkesima oleh kekompakan mereka. Tumben mereka menghadap saya sekompak itu. Sebelumnya tak pernah. Sebelumnya, entahlah.

Saya pandangi satu persatu tiga sosok gagah-gagah dan dua sosok cantik-cantik itu. Inilah mereka. Lima generasi penerus saya yang gagah-gagah dan cantik-cantik. Lima sosok buah cinta saya dengan istri, yang kini semuanya telah menjadi manusia dengan pekerjaan serta status masing-masing, yang bahkan telah memberi saya sejumlah cucu yang lucu-lucu dan bengal-bengal. Inilah mereka, lima anak-anak saya yang sekarang tumben-tumbennya datang berkumpul menghadap saya dan bertanya: “Pernahkah ayah berpikir, bahwa cukup pantaskah ayah disebut pahlawan bagi kami?” Edan! Mereka mendesak saya. Memojokkan saya ke suatu sudut yang paling samar dalam tempurung kepala saya. Menekan tubuh saya ke dalam ruang tak berdimensi di dada saya. Sialan! Saya menyipitkan mata, mencoba berpikir.

Selama ini, apa yang telah saya perbuat dan berikan kepada mereka? Saya mencintai istri saya, lalu mereka lahir satu persatu. Lalu saya dan istri saya merawatnya, memeliharanya sebagaimana orang lain melakukannya. Saya dan istri membesarkan mereka dengan segala sesuatu yang lumrah, sederhana, sesuatu yang mengalir sesuai dengan irama kehidupan yang kami temui, yang kami jalani.

Saya dan istri telah membesarkan anak-anak dalam sebuah keluarga yang menurut saya wajar-wajar saja dan sebagaimana mestinya. Kalau mereka saya anggap bersalah, saya menegurnya. Kalau mereka saya anggap nakal, saya memarahinya. Memukul pantatnya atau menjewer telinganya, sesekali menstrapnya berdiri menghadap tembok beberapa puluh menit. Saya memuji atau memberi hadiah untuk sesuatu yang membuat mereka pantas menerimanya. Mengajak mereka bercanda, berdiskusi, berbeda pendapat, atau menyepakati suatu hal atau mengajak mereka melupakan sama sekali hal-hal yang patut dilupakan. Saya mengajak mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang pantas mereka kerjakan.

Sumpah! Saya sungguh merasa telah memberikan semuanya kepada mereka, kepada anak-anak saya itu. Mengajak mereka menjalani dan menikmati kehidupan ini dari tetesan keringat saya yang paling perih sampai ke dalam kejayaan yang paling mashyur dalam sejarah hidup saya. Bahkan darah dan sumsum tulang saya telah saya berikan. Napas saya. Jiwa saya. Cinta saya. Kasih sayang saya. Nurani saya. Ketakberdayaan saya. Kegilaan saya. Apa-apa saya.

Dan sekarang, tiba-tiba mereka datang serempak dengan mulut yang kompak bertanya kepada saya: “Pernahkah ayah berpikir, bahwa cukup pantaskah ayah disebut seorang pahlawan bagi kami?”

Sialan! Betapa manis-manisnya mereka saat mengucapkan kata-kata itu. Betapa sederhananya mimik mereka saat memberondongkan pertanyaan itu tepat ke jidat saya. Dan alangkah tiba-tiba remangnya cakrawala di atas kepala saya. Saya tak mengerti, kenapa tiba-tiba saya merasa terdesak di sebuah sudut yang paling samar dalam pengalaman saya. Kenapa tiba-tiba saya merasa tertekan pada suatu wilayah tanpa dimensi.

Mata saya berkunang-kunang. Mungkin agak capek. Dan mereka, kelima anak-anak saya itu, belum juga bergerak sedikit pun dari depan saya. Mereka masih menunggu. Malah kelihatan semakin berhasrat akan jawaban dari mulut saya. Dalam kesamaran pandang, saya lihat mereka tak berkedip menatap saya. Bahkan napas-napas mereka terasa menyentuh pipi dan tembus ke tengkuk saya. Saya pejamkan mata. Kursi goyang terasa bergerak sendiri. Mengayun-ayun tubuh dan perasaan saya.

Entah berapa lama, saya terus bisu. Lalu saya merasakan tangan-tangan mereka, tangan-tangan anak-anak saya itu mulai tak sabar. Mereka mulai mengguncang-guncang tubuh saya. Dan mulut-mulut mereka masih mengulang pertanyaan yang sama: “Pernahkah ayah berpikir, bahwa cukup pantaskah ayah disebut seorang pahlawan bagi kami?”

Saya rapatkan kelopak mata. Sampai kemudian perlahan-lahan saya merasakan tangan-tangan itu mulai menggerayangi tubuh saya. Mula-mula mereka mencongkel-congkel kelopak mata saya dengan telunjuk, lalu mereka mendongkel mulut saya dengan seluruh jari-jari mereka. Kemudian tangan-tangan itu berpindah ke dada saya. Tangan-tangan yang kekar dan tangan-tangan yang halus itu mulai menarik-narik kulit perut dan juga tulang iga saya, mengangakan seluruh rongga dada saya. Mereka mengorek-ngorek terus di sana. Mencari dan terus mencari dengan semakin penasaran. Kian lama tangan-tangan itu kian tak terkendali. Dan dengus napas mereka pun berubah menjadi lenguh mahluk yang tak saya kenal sama sekali. Tapi saya tetap bisu. Saya tetap...

Barangkali wajah, dada, perut, kepala dan seluruh tubuh saya telah porak poranda oleh mereka ketika saya membiarkan diri saya melayang perlahan-lahan dari kursi goyang itu. Saya melayang meninggalkan mereka. Meninggalkan tanaman perdu, rumput hijau, kolam kecil..., dan dengan diam-diam saya melayang terbang menuju ke setiap rumah lelaki yang menjadi ayah.***


Bali suatu senja.
Untuk almarhum Wayan Mandra, ayahku, yang telah mengajarkan kehidupan dan cinta yang sederhana kepada kami anak-anaknya

Read More......

Sebuah Negeri, Jangan-jangan Tak Sempat Mendengar

  • “Namaku Saraswati. Kenapa bukan Saraswita?” tanya gadis remaja itu kepada kekasihnya. Sang kekasih bergeming. Ia berada jauh di sebuah negeri yang tak pernah dewasa. Negeri dengan sebuah kebebasan yang tak pernah dipahami. Negeri dengan sopan-santun yang tak pernah lebih dari sebuah basa-basi. Sebuah negeri yang selalu riuh sendiri dalam peta dengan bagian-bagian tertentu yang selalu terbakar sendiri.
Di televisi, para pembesar, politikus, budayawan, ahli hukum, ekonom, agamawan, sepanjang hari itu, minggu itu, bulan itu, memenuhi jam-jam siaran dengan berbagai argumen tentang masa depan sebuah bangsa. Mereka berdebat sepanjang waktu mengenai kebobrokan pemerintahan, kekuasaan, hukum, politik, perekonomian, moral dan seterusnya. Mereka berpendapat soal-soal rakyat dan generasi muda yang harus bangkit melawan, melawan dan melawan segala ketimpangan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, dan seterusnya. Di sanalah dia, sang kekasih gadis remaja itu berada. Tetapi bukan sebagai siapa-siapa, bukan sebagai salah satu yang senantiasa berdebat, berargumen atau berpendapat itu. Tetapi dia hanyalah semacam gumpalan tanah liat yang ditaruh di tengah-tengah meja tempat berdebat yang terus disorot kamera televisi itu.

“Beginilah seharusnya demokrasi...,” seorang ahli tata negara dengan sederet gelar di depan dan belakang namanya menjulurkan tangan. Gumpalan tanah liat itu diremas-remasnya membentuk lempengan lalu didadarkan di atas sebuah nampan plastik.

“Ya ya, tetapi tentu saja tak sesederhana itu...,” serobot seorang budayawan botak berkacamata tebal seraya meremas-remas kembali lempengan tanah liat itu menjadi sebuah bangunan menyerupai benteng. Di sekeliling temboknya terpajang tiang-tiang dengan bendera berkibaran di antara deretan senapan mesin dan tank-tank yang siap memuntahkan peluru.

“Nanti dulu. Bila politik tak mampu menunjukkan itikad baiknya...,” sergah seorang agamawan lantas meremas-remas lagi gumpalan tanah liat itu menjadi bulat telur. Ajaib, begitu gumpalan bulat telur itu diletakkan, tiba-tiba saja gumpalan itu retak dan mengeluarkan semacam asap. Asap itu pun lalu mengalir keluar melalui udara di lubang-lubang ventilasi, lubang-lubang pengatur suhu ruangan, lubang-lubang pembuangan, memenuhi kota. Lalu jalanan, lorong-lorong kumuh, terminal, ribuan penduduk miskin membanting-banting dirinya. “Lari! Ada gas air mata!” teriak mereka.

Sementara itu di meja perdebatan, para pembesar, politikus, ahli hukum, budayawan, agamawan serta para ekonom tak henti-hentinya bersalaman dan saling rangkul. Bersalaman lagi, saling rangkul lagi, begitu saja mereka. Tak sebaris kalimat pun pernah selesai mereka ucapkan. Sesekali kamera televisi menangkap jemari mereka yang saling remas pada bagian-bagian sensitif tubuh mereka. Bahkan ketika lenguhan nafas itu berujung, tetesan air liur mereka begitu jelas terdengar dari sepasang speaker televisi dengan tata suara surround itu. Suara tetesan air liur muncul dari mana-mana.
  • “Namaku Saraswati. Kenapa bukan Saraswita atau yang lain? Kenapa kamu adalah dirimu dan bukan orang lain misalnya?” gadis remaja itu kembali bertanya. Sebuah negeri, tetap dalam keriuhannya. Sebuah negeri, jangan-jangan tak pernah peduli ada seseorang yang bertanya begitu. Sebuah negeri, jangan-jangan tak pernah tahu ada seseorang yang bernama Saraswati. Dan, apa sih pentingnya sebuah pertanyaan “siapa aku” bagi kelangsungan sebuah negeri yang berpenduduk dua ratus juta lebih misalnya?

Mungkinkah gadis remaja itu telah sedang mengadakan sekaligus meniadakan dirinya sendiri? Maka aku teringat sebuah novel berjudul “Dunia Shopie”. Sebuah novel filsafat yang dimulai dengan sebuah pertanyaan: Siapakah kamu? Aku teringat berbagai ulasan filsafat dan bahkan agama dengan pertanyaan yang sama. Aku teringat, pertanyaan itu tak pernah mendapatkan jawaban yang berujung. Aku teringat, pertanyaan itu telah pernah dilontarkan Arjuna kepada Sri Kresna dalam sebuah ephos ribuan tahun lampau di tengah kecamuk perang di Kurusetra. Aku teringat, diriku yang tak akan pernah tiba pada sebuah jawaban pun untuk pertanyaan yang sederhana itu.

Di layar televisi gambar berubah. Hutan-hutan sebagian dibakar, sebagiannya lagi menurut pemerintah konon dijarah orang-orang tak dikenal. Lucu, rakyat sendiri kok konon tak dikenal. Asap kelabu, gemeretak ranting dan bunga api. Di sebuah desa, tampak ayah dan ibuku dan para tetangga menyanyikan lagu-lagu kemakmuran negeri sembari mencangkuli dengan geram rekahan-rekahan tanah yang terus mengeras akibat pupuk kimia.

Beberapa minggu kemudian, sawah-sawah dan ladang-ladang hijau ranum. Sepanjang pematang, sepanjang aliran sungai, beterbangan pendaran cahaya hari esok yang gembira. “Bukan lautan, hanya kolam susu...,” adik-adikku yang masih kecil-kecil itu berjoget lagu dangdut yang ditirunya dari sobekan-sobekan laporan pembangunan yang jatuh dari mobil para penyuluh pertanian. Sayang sekali, belum genap bait-bait itu dilagukan, dalam gambar televisi tampak adik-adikku telah menjadi mayat gara-gara berbagai wabah penyakit kelas dunia ketiga semacam demam berdarah, muntaber, malaria atau keracunan makanan kedaluwarsa, atau keracunan makanan dari daging-daging hewan yang belakangan baru diketahui telah tercemar kuman penyakit yang aneh-aneh sekali namanya. Ayah ibuku dan para tetangga menjerit menerima kenyataan harga gabahnya tak mampu menebus hutang pupuk di koperasi unit desa. Pasar dan dapur para pejabat, pasar dan dapur para politikus, pasar dan dapur para ekonom, pasar dan dapur para budayawan, pasar dan dapur para agamawan, pasar dan dapur para lembaga swadaya masyarakat tertimbun beras impor dari negara sebelah.

“Turunkan bupati!” teriak ribuan guru sekolah sembari dengan gembira bolos mengajar. Maka para siswa yang ditinggalkannya beramai-ramai melepas baju seragam lalu masuk televisi menjadi bintang sinema elektronik, penari latar para penyanyi, dan ada juga yang jadi pelawak. Anehnya, direktur jendral kebudayaan masih saja mengeluh kesulitan mencari aktor dan aktris, kesulitan mencari duta-duta kebudayaan untuk dikirim ke luar negeri. Masyarakat akhirnya terpaksa membeli film-film Hollywood, Mandarin dan India bajakan di sepanjang trotoar, kaki lima, mall, hanya untuk sekedar memenuhi hasrat menonton tontonan bermutu.

“Turunkan presiden!” sahut para mahasiswa sembari membakar bendera bangsa di sebuah perempatan dekat hotel berbintang tempat para turis asing melihat-lihat keindahan sebuah negeri di garis khatulistiwa.

Gambar televisi berubah lagi. Para mahasiswa ditangkapi polisi. Ada yang berdarah segala. Ada beberapa yang (lagi-lagi konon) hilang. Ada yang ditemukan beberapa tahun kemudian setelah berganti nama menjadi: yang terhormat wakil rakyat.
  • “Namaku Saraswati. Kenapa bukan Saraswita?” tanya gadis remaja itu kepada kekasihnya. Sang kekasih bergeming. Ia berada jauh di sebuah negeri yang tak pernah dewasa. Negeri dengan sebuah kebebasan yang tak pernah dipahami. Negeri dengan sopan-santun yang tak pernah lebih dari sebuah basa-basi. Sebuah negeri yang selalu riuh sendiri dalam peta dengan bagian-bagian tertentu yang selalu terbakar sendiri.
Aku mulai menimang-nimang pikiran sendiri. Siapakah aku? Siapakah aku ketika misalnya ditanyai seperti itu oleh seseorang? Siapakah aku kecuali sesuatu yang kemudian disebut anak dan diberi nama sebagai sekedar tanda oleh kedua orang tuaku, disebut cucu oleh kakek dan nenekku, disebut keponakan oleh paman dan bibiku. Selanjutnya namaku dimasukkan dalam kartu keluarga dan dicarikan kartu tanda penduduk. Oi, aku jadi penduduk sebuah kampung, sebuah desa, sebuah kecamatan, sebuah kabupaten, sebuah provinsi, sebuah negeri. Tetapi siapakah aku kecuali sesuatu yang berangkat tumbuh dengan segala sesuatu yang juga tumbuh bergerak di sekitarku.

Hari ini, siapakah aku kecuali sesuatu yang bertanya siapakah aku. Sesuatu yang setiap saat bisa saja ditanyai oleh kekasihnya: siapakah aku?

“Namaku Saraswati. Kenapa bukan Saraswita atau yang lainnya?” Gadis remaja itu terus bertanya kepada kekasihnya. Sebuah negeri jangan-jangan tak sempat mendengar pertanyaan itu. Sebuah negeri terus bergerak melahirkan sesuatu yang juga terus bertanya siapakah aku?


Dusun Moding - Jembrana, suatu hari

Read More......

Sabtu, 19 Juli 2008

Hari Minggu Dilarang Sakit*

SAKIT, demikian seseorang menyebut Godam belum lama ini. Celakanya, yang mengatakan itu adalah orang yang sedang ingin diajaknya berbagi hati. Hati yang – entah apa sebabnya – sedang ndak beres-beres amat.

Yang mengatakan itu adalah seorang gadis cantik bernama Nita, yang hhh, sudah beberapa tahun membuat Godam tak enak tidur. Membuat Godam jatuh hati, jatuh cinta, serta saban malam menghayalkan sebuah kehidupan bahagia berdua, lalu punya anak-anak yang lucu-lucu dan seterusnya dan seterusnya. Pendek kata, yang mengatakan Godam sakit itu adalah seorang gadis yang benar-benar istimewa baginya.

Bahwa Godam dibilang sakit pertama-tama karena dia bertanya: apa maksud hidup ini? Dari pertanyaan itu Godam mendapat sebuah jawaban panjang berliku yang diakhiri: tabahlah!
Puih, hidup katanya adalah ketabahan.
“Tabah? Apa itu tabah?” tanya Godam.

“Karena hidup ini pinjaman,” jawab Nita.

“Maksudnya?”

“Kita dipinjemi hidup oleh yang membuat hidup itu sendiri. Jadi syukurlah kamu ndak dikasi hidup sebagai bekicot misalnya, tetapi jadi manusia. Tetapi, dikasi hidup sebagai manusia kita juga mesti menerima konsekwensinya. Sakit, lapar, kenyang, ngantuk, ndak punya uang, jatuh cinta, patah hati, kena gosip, kena rasa iri, sedih, senang, susah, dan seterusnya sampai kita mati. Di antara semua konsekwensi itu kita hanya bisa berusaha untuk mencari jalan keluar agar bisa merasa lebih nyaman. Hanya berusaha, berihtiar, selebihnya tidak. Kemudian di antara berusaha dan hasil berusaha itulah kita mesti mengalami lagi berbagai hal yang tak selalu menyenangkan. Tetapi kita tak boleh menyerah begitu saja. Tak boleh putus asa, prustasi dan lain sebagainya. Itulah yang disebut tabah. Soalnya kita toh tidak punya kemampuan apa-apa lagi alias tidak sempurna.”

“Jadi kita harus tabah?”

“Pake tanya lagi, kamu budek ya?”

“Lho, kok sewot? Apa sewot juga konsekwensi hidup?”

“Tentu saja.”

“Berarti tabah itu juga konsekwensi hidup dong. Jadi kalau kamu bilang maksud hidup ini adalah ketabahan, salah dong.”

“Ya memang. Lalu kamu minta jawaban gimana?”

“Ndak tahu.”

Nita, mahasiswi ekonomi semester dua itu lalu membanting kakinya. Mungkin kesal.

“Kamu sakit!” ketusnya.

Godam bergeming. Gundukan tanah yang dikelilingi berbagai bunga perdu di taman kota itu pun kian gelap. Senja yang hangat kini beranjak petang. Orang-orang yang tadi cukup ramai, kini tinggal beberapa saja. Dagang bakso, es kelapa muda, rujak dorong dan sate ayam yang berderet di pinggir sudut timur taman pun tampak sudah mulai berkemas pulang. Godam menengadah ke arah selatan. Lampu-lampu merkuri penerang jalan sudah mulai menyala. Segerombolan burung seriti hinggap dengan riuh cericitnya di pelepah pohon palem di pinggir kolam. Di sebelah palem itu, di tengah-tengah kolam dengan air mancur, tegak menjulang patung Bima dalam belitan naga. Otot-otot Sang Bima tampak menonjol penuh tenaga melawan seekor naga besar yang dengan beringas hendak menelan dirinya. Gagah sekali. Sang Bima dan Sang Naga tampak sama-sama gagah. “Adakah patung itu juga lambang sebuah ketabahan? Ah, memangnya patung bisa berpikir?” Godam menggerutu sendiri dalam hatinya.

***

BEBERAPA hari kemudian ayah Godam meninggal. Godam kembali bertanya kepada Nita yang hari itu berbaju merah muda. Godam bertanya, bagaimana ya orang kok bisa mati?

Nita yang hari itu berbaju merah muda merenung cukup lama sebelum menjawab. Lalu setengah putus asa dia berujar akhirnya: Bagaimana kita tahu soal kematian, sementara hidup saja ndak dapat dipahami sepenuhnya. Bahwa kematian, sudahlah, itu hanya soal istilah. Bahwa ketika mahluk hidup berhenti bernafas, jantungnya berhenti berdetak, paru-parunya berhenti bergerak, darahnya berhenti mengalir di dalam tubuh, otaknya berhenti bekerja, segala-galanya berhenti, saat itulah dia disebut mati. “Jadi kalau kamu tanya bagaimana orang kok bisa mati, ya karena jantungnya berhenti berdetak, paru-parunya berhenti mengibas, darahnya berhenti mengalir dan seterusnya. Bukankah begitu?”

“Maksudku, kok tidak bisa diperbaiki, gitu,” Godam masih penasaran.

“Maksudmu?”

“Misalnya saat orang jantungnya berhenti berdetak, kok ndak bisa diperbaiki biar berdetak lagi atau diganti dengan jantung lain misalnya.”

“Lho, kan sudah? Kan sudah banyak orang yang diganti jantungnya? Kan sudah banyak orang yang paru-parunya dibetulin? Kan sudah banyak orang yang ginjalnya rusak lantas diganti?”

“Ya. Ayahku juga sudah sempat dioperasi ususnya. Kata dokter, ususnya kena kanker ganas. Harus dipotong...,” Godam tak melanjutkan kata-katanya.

“Nah itulah salah satu contoh lagi bahwa organ tubuh kita yang rusak masih bisa diperbaiki.”

“Tapi kok tetap saja mati?”

“Badah, itulah kuasa yang memberi hidup ini. Hidup ini adalah pinjeman. Kalau yang memberi pinjeman mau mengambilnya lagi, ya, awak mau bilang apa lagi?”

“Yeee, kapan kita meminjamnya? Aku ndak merasa!” Godam sengit.

Nita yang hari itu berbaju merah muda berhenti bicara. Lama ditatapnya Godam. Lalu telapak tangannya terulur dan meraba jidat Godam. “Kamu sakit. Obatnya habis ya?” tanyanya. Godam bengong.

***

TAK lama berselang, Godam kembali bertemu Nita di ..., entah di manalah. Untuk hal ini, tempat tiba-tiba menjadi tak penting untuk bernama. Sebuah tempat, mungkin bisa saja kantor, dapur, kamar mandi, jalan raya, pasar, toko, pantai, lemari baju, rak buku, halaman rumah, perpustakaan, lapangan sepak bola, telepon umum..., biarlah tetap dengan namanya sendiri-sendiri. Tetapi untuk hal ini, biarlah nama-nama itu tak disebut saja, karena sesungguhnya – hal ini – memang tak mesti membutuhkan tempat tertentu, yang khusus, walau sementara ini mungkin oleh banyak orang memang dianggap penting setidaknya sebagai saksi bisu. Tetapi bagi Godam, dan juga Nita, biarlah mereka tidak seperti banyak orang itu, tidak ikut mempermasalahkan sebuah nama untuk sebuah tempat.

Godam berkata setengah berbisik, – sebuah kalimat pendek yang sebenarnya sudah disimpannya bahkan berabad-abad – menurut perasaannya. “Aku jatuh cinta padamu. Maukah kamu juga jatuh cinta padaku, Nita?”

Gadis itu kaget setengah mati. Lama memandang mata Godam.
“Please, kamu kenapa, Godam?” tanyanya.

“Memang kenapa?”

“Kok kamu semudah itu mengatakan jatuh cinta?”

“Soalnya aku memang jatuh cinta padamu. Soalnya aku memang ingin yang mudah-mudah saja. Soalnya, apapun yang kita telah coba lakukan dengan penuh pertimbangan, perhitungan, pemikiran, sublimasi, pengendapan dan lain sebagainya itu, toh pada hakekatnya akan berakhir dengan mudah. Seperti..., seperti..., ya seperti segala hal. Harga-harga misalnya, betapa mudah dia naik tanpa meminta persetujuan para pembeli. Seperti hukum itu misalnya, betapa mudah dia berubah perangai tergantung siapa yang memakainya atau untuk siapa dia dipakaikan. Seperti politik itu juga misalnya, betapa mudah dia berubah arah, berkompromi tanpa harus mengingat sejarah, tanpa harus mengingat berapa harga korban yang telah ditelan demi mempertahankan ideologi yang diberhalakan sebelumnya. Juga seperti kematian itu, mudah sekali terjadinya. Lihatlah di jalanan, orang dengan mudah mati hanya gara-gara tabrakan. Di mana-mana orang mati dengan mudah hanya dengan dibacok, ditembak, gantung diri, minum racun, sakit jantung, stroke, kanker, thypus, AIDS, kolera, demam berdarah, TBC, kencing manis ...”

“Kamu sakit ya? Aduh, ke dokter yuk!” Nita menarik tangan Godam.

Untuk mempermudah persoalan, Godam menurut.

Sepanjang perjalanan ke dokter itu pikiran Godam terus berputar oleh pertanyaan-pertanyaan. Kenapa di setiap ujung pembicaraan yang begitu serius dirinya selalu disebut sakit oleh Nita? Kenapa ketika berpikir dan kerkata-kata apa adanya sesuai dengan yang ada di lubuk hati, dirinya selalu disebut sakit? Kalau misalnya semua orang punya cara berpikir, berkata-kata dan bertingkah laku seperti dirinya, akankah semua orang itu juga disebut sakit? Apakah sakit itu sesungguhnya? Apakah dirinya itu jangan-jangan sebuah penyakit?

Di tempat dokter praktek Godam tertawa. Ternyata itu hari Minggu dan dokternya tutup. Jadi, hari minggu dilarang sakit!***


Suatu hari
* Judul terinspirasi dari cerpen “Dilarang Membunuh Di Hari Sabtu” karya Satmoko Budi Santoso.

Read More......

Aku Ingin Menepati Janji Sekali Saja

“YA, sesekali, nginaplah kamu di rumah,” kata Ayah di senja yang basah itu. Kami duduk di bale pemogbog di halaman bersama Ibu, adikku Dwi dan istrinya Kadek Lia serta temanku Ibed. Aku dan Ibed baru menghabiskan separuh cangkir kopi yang disuguhkan Lia. Kami sedang dalam tugas membuat beberapa foto Kebaktian Natal di Gereja Palasari yang tak begitu jauh dengan dusunku. Dan aku sengaja mengajak Ibed berangkat agak sore untuk bisa mampir dulu ke rumah. Juga sambil menunggu hujan reda.

Aku langsung paham maksud Ayah. Mungkin dia memang rindu padaku. Sudah dua tahun lebih aku tak pulang.

Aku bekerja sebagai redaktur pelaksana sebuah koran lokal. Walaupun aku bekerja di kota kabupaten berjarak tak lebih dari tujuh belas kilometer dari rumah, aku memang jarang pulang. Bahkan sekali lagi, terakhir ini aku sudah dua tahun lebih tak pulang. Selama ini aku tidur di mana-mana. Di rumah teman, di kantor, di losmen atau tidak tidur sama sekali. Sedang “tempat tinggal tetapku” adalah di ruang kerja redaksi yang sempit itu. Aku tak pernah risau mengurus diriku yang seorang diri ini. Sementara itu, telah belasan kali pula beberapa teman atau tetangga yang aku temui menyampaikan pesan Ayah agar aku pulang sesekali saja. Aku selalu mengatakan pada mereka untuk menyampaikan janjiku pada Ayah bahwa nanti kalau sudah sempat aku akan pulang.

Padahal dalam beberapa kali tugas peliputan, aku melewati dusunku. Bahkan pula, sekali pernah aku meliput kegiatan Pak Gubernur di dusunku sendiri. Waktu itu Pak Gubernur datang meresmikan pembangunan pusat penetasan ayam buras. Aku sempat bertemu Ayah. Tapi karena dia sibuk sebagai panitia dan aku sibuk wawancara serta membuat beberapa foto, kami tak sempat bertegur sapa. Di akhir kunjungan Pak Gubernur itu aku langsung berangkat ikut rombongan menuju lokasi kunjungan lainnya. Aku terburu-buru karena numpang di mobil humas protokol pemda.

“Ya, saya dan Ibed memang mau menginap. Besok pagi saya ingin masakan daun singkong bikinan Ibu,” aku menanggapi Ayah. Kami lalu ngobrol hal-hal lain. Ayah mengeluh soal jalan yang melintas di depan rumah kami. Katanya jalan itu sudah dua tahun direncanakan diaspal, tapi kenyataannya tidak. “Padahal kami di sini sudah melakukan persiapan maksimal. Banjar sudah terus bergotong royong mempersiapkannya. Enam warga secara sukarela sudah mengorbankan tanahnya untuk memperlebar bagian jalan yang sempit. Bahkan tanah kebun kita sendiri kena sepuluh are untuk menyambung jalan itu tembus ke dusun sebelah. Tapi heran, aspalnya ternyata tak datang-datang juga,” Ayah menarik nafas. Nampak sekali dia kecewa.

“Sabar sajalah. Nanti juga pasti diaspal. Lagi pula apa perlunya diaspal? Toh biar jalan tanah begini, orang-orang tetap bisa lewat,” aku menanggapi seperlunya.

“Ayah memang tak perlu aspal. Tapi warga banjar di sini sangat ingin jalan ini diaspal. Mereka sudah mengorbankan sebagian tanahnya dengan harapan bisa punya jalan beraspal,” Ayah masih ngotot. Aku sendiri sebenarnya cukup paham. Memang wajar jika warga banjar di sini ngotot soal aspal itu. Soalnya dari dulu janji-janjinya memang begitu. Bukan hanya dua tahun terakhir ini. Dari dulu sekali, sejak jaman Golkar. Para tokoh-tokoh Golkar dulu silih berganti datang ke sini membawa janji bahwa jalan ini akan diaspal. Lalu ketika reformasi, tokoh-tokoh PDI Perjuangan dan beberapa partai lainnya juga datang dengan janji yang sama. “Enam bulan lalu, Pak Wakil Bupati juga berjanji akan memperjuangkannya,” sambung Ayah.

“Yah, janganlah berharap lebih kepada seorang pejabat. Dia terlalu banyak urusan. Kasihan dia,” aku tertawa.

“Tetapi jalan ini memang layak mendapat perhatian. Jalan ini adalah satu-satunya akses menuju dusun dan desa sebelah yang menggerakkan perekonomian masyarakat di sini. Kasihan para tukang ojek, dagang sayur, saudagar coklat atau pembeli kelapa dan yang lainnya. Dengan kondisi jalan seperti ini, harga hasil kebun kita di sini juga jadi sangat murah,” timpal adikku Dwi tak mau kalah.

“Yah, sabarlah. Mudah-mudahan aspal segera datang. Ngomong-ngomong, kapan kalian akan punya anak?” aku mengalihkan obrolan.

Jam tujuh petang aku dan Ibed meninggalkan rumah menuju Gereja Palasari, gereja terbesar dan tertua di Kabupaten Jembrana – Bali barat di pinggir hutan sana. “Kamu jadi menginap, kan?” Ayah kembali bertanya. Aku meyakinkannya. Aku dan Ibed lalu menembus gerimis dengan sepeda motor.

Acara kebaktian di gereja ternyata baru akan dimulai jam sembilan malam. Di depan pintu gerbang gereja yang gelap tanpa lampu, aku dan Ibed diperiksa terlebih dahulu oleh enam orang petugas dari Sektor Kepolisian Melaya yang berjaga lengkap dengan alat pendeteksi logam. Tas kami dikeluarkan isinya. Kamera dan beberapa catatanku diperiksa dengan teliti. “Maaf, ini memang prosedur. Jangan tersinggung,” kata salah seorang polisi itu sambil menyalakan lampu senter. Dari suaranya itu aku bisa mengenali, ternyata dia temanku yang sekarang bertugas di bagian intel Polres. “Tak apa-apa. Periksa sajalah,” jawabku. Dan dia pun kaget begitu mengenali suaraku. Kami lalu sama-sama tertawa.

Yang agak lucu adalah ketika tas Ibed diperiksa. Meskipun seluruh isi tas tersebut sudah dikeluarkan, alat pendeteksi logam yang digerak-gerakkan polisi itu masih berbunyi keras. Sekujur badan Ibed pun diperiksa. Kami sampai sempat merasa tak enak. Sementara Ibed hanya cengar-cengir kebingungan. Untunglah kejadian itu tak berlangsung lama. Seorang polisi yang lain menyimpulkan bahwa resleting tas Ibed-lah yang membuat alat itu berbunyi. Kami lalu semua tertawa. Memang, resleting tas Ibed terbuat dari besi asli. Maklum, tas agak murahan.

Jam setengah sembilan malam itu, para jemaat gereja mulai berdatangan. Tua-muda mereka datang dengan sebagian besar berpakaian adat Bali lengkap seperti layaknya mau ke pura. Beberapa ibu dan remaja putri bahkan datang dengan rangkaian banten prani yang indah-indah sebagaimana odalan di pura. Aku dan Ibed mulai suntuk memotret. Aku membagi tugas, Ibed memotret dan mencatat kegiatan pemeriksaan para jemaat oleh petugas di pintu gerbang. Sementara aku dengan diantar oleh seorang penjaga gereja diajak masuk ke dalam gereja memotret seluruh rangkaian kebaktian malam itu.

Di pertengahan prosesi kebaktian, ada yang mencubit lenganku. Ternyata Lala. Aku terkesima. Betapa cantiknya gadis remaja ini. Tubuhnya yang tinggi semampai terbungkus gaun merah saga. Dia memang tak memakai pakaian adat Bali. “Aku ingin ngobrol banyak denganmu. Tunggu, ya,” bisiknya. Matanya menyorot tajam ke mataku. “Kamu terlambat datang,” kata-kataku tersekat di tenggorokan. Dan dia tentu tak mendengarnya karena telah menghilang masuk ke dalam deretan bangku jemaat lainnya. Aku melanjutkan memotret.

Di akhir rangkaian kebaktian ada pementasan Drama Natal. Aku keluar dan duduk di halaman gereja yang luas. Di langit mendung menggantung dengan beratnya. Aku memikirkan Lala. “Aku ingin ngobrol banyak denganmu. Tunggu, ya,” begitu bisiknya tadi.

Lala adalah salah satu bekas “muridku” di SMU Negeri 1 Denpasar. Tapi kampung halamannya memang di Palasari ini. Saat di kelas dua, tahun lalu, dia ketua teater sekolah dan aku pelatihnya. Sekarang dia sudah kelas tiga dan posisinya diganti oleh adik kelasnya. Selama ini hubungan kami memang sangat akrab. Dia tahu aku adalah laki-laki yang tak beruntung dalam cinta. Maksudku dalam rumah tangga. Karena aku bercerai dengan istriku sejak enam tahun yang lalu ketika usia pernikahan kami baru empat tahun berjalan. Sejak saat itu pula aku berpisah dengan kedua anakku yang masih kecil-kecil yang dibawa ibunya. Maka tanpa sepenuhnya sadar, di saat-saat latihan teater itu aku sering melamun membayangkan anak-anakku sudah besar dan ada di antara murid-murid yang aku latih. Mungkin saat melamun itu Lala sering memergoki aku. Maka dia datang dan menghiburku. “Anggaplah aku anakmu atau kekasihmu atau apa sajalah. Jangan melamun dan sedih. Nanti mati muda,” demikian dia selalu berkata sambil duduk di sebelahku seraya menyandarkan kepalanya di bahuku yang kerempeng. (Oh ya, perlu aku jelaskan, bahwa anak-anak didikku di teater sekolah itu semua menganggap aku ini temannya. Laki-perempuan bersikap sama akrabnya. Mereka biasa memelukku, bahkan yang laki-laki seenaknya saja memeluk bahuku seperti teman sebayanya. Sering kopi susu yang dibelikan untukku malah mereka yang menghabiskannya. Tak ada yang memperlakukanku sebagai seorang pelatih yang harus “dihormati” seperti mereka memperlakukan para guru kelasnya).

Lama-lama aku suka dengan cara Lala memperlakukanku seperti itu. Aku sering merasa membutuhkannya. Terutama saat aku sendirian di tempatku menginap di Denpasar selama masa latihan itu. Pernah ketika penyakit tiphusku kambuh tapi aku memaksakan diri untuk datang melatih mereka, Lala memberiku perhatian begitu besar. Dia mengurusku seperti entah mengurus ayahnya, atau kakaknya, atau mungkin kekasihnya. Hal-hal terkecil pun diurusnya, seperti misalnya mencukur daguku. Dan yang paling aku suka adalah ketika aku merasa sekujur badanku kepanasan, tanpa ragu-ragu dia meletakkan kedua telapak tangannya di kedua pipiku. “Tanganku dingin. Lebih dingin dari kompres air es. Tidurlah,” ujarnya sungguh-sungguh. Dan ajaib, saat itu aku memang merasa seperti dikompres air es. Sejuk sampai ke dalam hati. Aku benar-benar bisa tertidur di atas dua buah level yang disediakan anak-anak untuk aku istirahat. Tapi ya, sebatas itu. Aku sadar betul siapa diriku. Dan Lala juga tentu tahu betul bagaimana caranya menjaga hubungan kami.

Lala memang cantik. Tepatnya anggun. Agak tinggi, dengan rambut lurus panjang hingga sedikit di bawah bahu. Tidak terlalu putih, tetapi walaupun dia masih remaja, yang paling membawa daya tarik darinya adalah bentuk payudaranya yang sempurna. Aku tahu ini karena dalam latihan olah tubuh dia suka memakai kaos. Dan dia tahu kalau aku sering memperhatikannya. Saat-saat begitu, dia pun tertawa agak malu sambil meleletkan lidahnya.

Di luar sekolah ia ikut sebuah klub fashion cukup ternama di Denpasar. Maka kalau ke sekolah pun dia sering terpaksa membawa dua buah tas sekaligus. Satu tas untuk buku-buku pelajarannya. Satu tas (lebih besar dari yang satunya) untuk tempat perlengkapan fashionnya. Sehabis jam pelajaran dia tak pulang, tetapi langsung memimpin teman-temannya latihan teater dan sorenya langsung pula ke suatu tempat pergelaran mode.

“Aku ingin ngobrol banyak denganmu. Tunggu, ya,” begitu bisiknya tadi. Ya, memang sudah lama juga kami tak bertemu. Sekitar delapan bulanan. Karena kesibukanku di koran, aku terpaksa meninggalkan teater sekolah itu dan kini posisiku sudah diganti oleh sahabatku dari Sanglah, Frans Jatmiko. Lala, apa yang ingin kamu obrolkan denganku?

HP-ku berbunyi. “Segera kembali ke markas. Kita rapat mendadak. Ada perubahan untuk materi laporan utama kita. Cepat ya...!” Abang – pemimpin redaksi kami berkata dengan suara beratnya dari seberang sana. “Jam sebelas malam begini, Bang?” aku kaget. “Ya. Kami tinggal menunggumu!” sahutnya lagi lalu menutup hp-nya. “Kacau juga Si Abang. Ayo pulang,” aku mengajak Ibed sambil agak menggerutu.

Di tengah perjalanan pulang menuju kantor redaksi itu, hujan kembali turun agak deras. “Saya pusing dan kedinginan,” teriak Ibed yang memboncengku. “Sabarlah, sebentar lagi kita minum bir di kantor,” sahutku sekenanya. Kami melaju menembus hujan. Jalanan sepi sekali. Sesekali kilat menyala di atas kepala kami.

Memasuki perbatasan mau masuk kota, aku tersentak. “Bed, berhenti, Bed!” aku menepuk pundak Ibed. Ibed mengerem dengan keras.

“Ada apa?” tanyanya bingung.

“Aku lupa janjiku mau nginap di rumah.”

“Tapi kita kan mau rapat? Terus bagaimana?”

“Kamu sajalah yang rapat. Bilang sama Abang dan teman-teman, aku terlanjur berjanji dengan ayahku.”

“Lho, kendaraan kita kan cuma satu ini?” Ibed tambah bingung.

“Gampanglah. Kamu terus saja ke kantor. Aku akan menunggu bis di sini. Aku akan mencegat bis Jawa. Mereka pasti mau. Aku sudah pernah, kok,” aku meyakinkannya.

“Bagaimana kalau antar saya saja dulu ke kantor, nanti baru Bli balik lagi...,” usul Ibed.

“Tak cukup waktu. Percayalah. Kau berangkat saja sekarang. Tinggalkan saja aku di sini,” aku meyakinkannya lagi.

Ibed tahu kalau aku memang tak pernah mau mengalah darinya. Maka tanpa bicara lagi dia berangkat. Aku berdiri di bawah pohon di pinggir jalan itu menunggu bis. Hujan dan gelap menyatu seperti hendak menelanku.

Sepuluh batang rokok aku habiskan sudah. Sepuluh bis telah aku cegat tapi tak satu pun mau berhenti. Sepuluh truk juga, tapi sama saja. Mereka tetap melaju dengan kencangnya. Sementara hujan semakin deras dan pakaianku telah basah hingga ke dalam. Aku menggigil. Ingin juga aku menelpon teman-teman untuk menjemputku. Tentu mereka sudah selesai rapat dan juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Tapi tidak. Aku tak ingin merepotkan mereka yang tentu saja juga sangat lelah. Aku ingin naik bis, pulang dan menginap semalam saja di rumah. Aku sudah berjanji dengan Ayah. Aku ingin menepati janji sekali saja. Aku harus bertahan di sini menunggu bis yang mau mengangkutku.

Negara, 25 Desember 2002

Read More......

Surat yang Tak Pernah Dikirim Kartini

ANAK-anak sedang sehat semua. Yang paling besar, lelaki yang mirip kamu, telah terdaftar di taman kanak-kanak terbaik di kota tempat tinggalku sekarang. Uang pangkalnya dua ratus ribu rupiah termasuk biaya administrasinya. Terus, uang partisipasi pembangunan gedung sekolah enam ratus ribu, bisa dicicil tiga kali dalam tiga bulan. SPP-nya tiga puluh ribu. Biaya makan bersama di akhir minggu lima ribu. Uang untuk tiga stel seragam termasuk pakaian olah raga seratus ribu. Terakhir, ongkos transportasi antar-jemput dengan mobil sekolah enam puluh ribu sebulan. Itu sudah beres semua. Cuma saya tak sempat mengantarnya saat pendaftaran. Soalnya ada pertemuan penting di tempat kerja. Waktu itu pembantu juga sedang pulang kampung. Katanya ada upacara adat. Jadi, dia diantar Mami yang kebetulan datang. Maaf, ternyata dalam buku induk sekolahnya kemudian, nama kita sebagai orang tuanya tak tercantum. Yang tercantum justru Mami sebagai wali muridnya. He he he, anak kita seperti yatim piatu saja ya? Tapi tak apa. Yang penting toh urusan sekolahnya itu sekarang sudah beres.

Anak kita yang kedua, perempuan mungil yang ternyata lebih cantik dari saya itu, sekarang sekotak susu sudah tak cukup lagi untuk dua hari. Tapi dia anak yang mandiri. Tidak rewel jika saya tinggal berkerja di malam hari. Dia mengerti untuk tidur sendiri, bermain sendiri, menangis lalu diam sendiri. Kecuali mandi dia masih sama pembantu. Sama saya dia jarang mau. Ia telah fasih menirukan seluruh iklan di televisi. Bisa mengangkat telepon, bahkan membuka kulkas. Saya rasa dia cerdas seperti burung pipit.

Bagaimana keadaan kamu? Saya kangen. Kurangilah merokok. Jangan mabuk. Soalnya saya dengar sekarang kamu mulai bergabung lagi dengan gembel-gembel itu. Cobalah hentikan kebiasaan begadang. Kalau kamu sakit, saya sedih. Karena saya tahu kamu tak akan ke dokter. Kamu kan selalu kere. Jangankan ke dokter, untuk menelepon saya atau beli perangko saja kamu tak bisa menyisihkan. Makanya saya tak pernah mengharap surat kamu.

Ya, saya rindu. Terutama bila mau tidur. Badan terasa pegal linu semua, sampai ke pangkal paha. Tapi tak ada yang bisa memijat seperti kamu. Lelaki di sekitar saya brengsek semua. Maunya cuma di sekitar pusar. Saya mual.

Kalau sedang sedih, saya jadi benci kamu. Benci cara berpikir kamu, prinsip hidup kamu, kemiskinan kamu dan kepala batu kamu. Saya benci naluri dan bakat hidup tradisional kamu yang tak masuk akal itu. Hidup bermodal cinta, bekerja di dalam cinta. Tai kucing. Kalau badan kurang gizi, kalau anak-anak merengek minta es krim, kalau keluarga datang dan ingin mengajak jalan-jalan ke mall, kalau saudara-saudara datang dan ingin ditraktir di kentucky, tanpa uang bagaimana kita bisa aman untuk bercinta?

Saya benci kemelempeman kamu. Argumen-argumen kamu yang sudah keropos itu. Teman-teman sekolah saya yang dulu paling kere sekarang sudah berani nyicil mobil. Tetangga-tetangga yang paling ringsek ekonominya sudah berani ngamprah rumah BTN, pasang telepon, beli kulkas atau home theatre. Tapi kamu masih selalu pura-pura tak butuh. Pokoknya saya benci cara hidup kamu. Saya perlu hidup yang layak. Layak menikmati apa yang ada. Layak memenangkan setiap kesempatan yang ada. Layak masuk surga mumpung masih hidup. Hidup kan cuma sebentar dan sekali?

Kembali ke soal anak-anak, menurut pembantu, mereka juga kangen sama kamu. Yang laki-laki sering ngelindur menyebut-nyebut nama kamu. Kadangkala dia uring-uringan tak jelas juntrungannya. Bila saya bujuk, saya malah diusirnya, dipukulinya, bahkan tak mau diajak bicara. Yang perempuan jadi ikut-ikutan. Kalau sudah begini, saya jadi merasa terkucil. Saya jadi merasa sia-sia. Saya ingin marah.

Apakah saya keliru mengambil langkah? Lantas saya mesti bagaimana? Apakah saya harus kembali ke kamu? Kembali ke dalam kamar sunyi kamu yang bagi saya kelewat abstrak itu? Kembali ke dalam kemiskinan kamu yang telah melempar saya ke rentangan jarak yang teramat menyakitkan antara saya dan keluarga besar saya yang modern, terpandang dan terhormat? Sementara saya sendiri kok tiba-tiba tak yakin apakah falsafah-falsafah usang hidup kamu itu akan mampu membentengi saya dan anak-anak dari ejekan zaman yang melesat ini. Saya tak yakin jika anak-anak nanti berani menghadapi kenyataan bila kamu masih saja tak bergeming dan terus memihak kepada perasaan. Sekali lagi saya yakinkan kamu: perasaan itu tak penting lagi di zaman ini. Bahkan dalam komik anak-anak pun hal yang bernama perasaan itu sekarang tak lagi disentuh.

Belakangan ini, Mami, Tante dan Om sering datang ke tempat saya. Mereka menyinggung-nyinggung ketegasan di antara kita.
“Kamu harus segera menentukan langkah. Jangan terlalu rumit berpikir. Ingat, kamu masih muda. Sebelum terlambat, kamu bla bla bla...,” Mami menghujamkan petuah-petuahnya seperti hendak mengeluarkan seluruh isi kepala saya.

“Apa lagi yang kamu tunggu?” Tante mengisi giliran ceramahnya beberapa hari kemudian. “Tak ada yang bisa diharapkan dari dia. Heran. Kenapa sih dulu kamu dapat orang macam dia? Sayangi dong kecantikan kamu. Tante dengar ada boss yang tergila-gila sama kamu. Walaupun konon anak-anaknya sudah ada yang mahasiswa, kata orang dia masih gagah. Tunggu apa lagi? Kamu takut? Soal istrinya, itu kan urusannya sendiri. Yang penting jaminan masa depan kamu. Yang penting bla bla bla...”

“Atau sekalian cari lagi yang masih bujang. Kamu tak sulit menggaet anak orang terpandang. Itu para investor asing juga kan suatu kesempatan? O ya, sebenarnya ada teman tante yang ingin kenal sama kamu. Bagaimana? Pertemuan bisa tante yang mengaturnya. Duda tanpa anak. Usahanya bla bla bla....”

“Yang penting kamu pastikan dulu status kamu secepatnya,” Om menyambung lagi pembicaraan itu lewat telepon. “Kapan kamu mau cari pengacara? Om bisa mengantar. Om punya teman yang saudaranya pengacara. Pokoknya gampanglah.”

Ketika suatu saat saya jelaskan kepada mereka bahwa saya akan membicarakan dulu masalah ini dengan kamu sekalian mengajak anak-anak untuk bertemu ayahnya, Tante marah. “Kamu sinting apa? Kamu mau menemuinya lagi? Di mana? Tak bisa! Itu sama dengan merendahkan martabat keluarga. Dan itu tidak sehat. Paling-paling kamu akan dirayunya dengan puisi-puisi gombalnya. Jangan mengulur-ngulur waktu. Lagi pula apa peduli kamu untuk mempertemukan anak-anak dengan dia? Kalau dia ingin ketemu, biar dia datang sendiri. Kalau dia mau mengambil anak-anaknya, kasi saja. Itu kalau dia berani. Enak saja!”

Saya katakan pada mereka bahwa kamu tak punya alasan untuk takut menemui saya dan anak-anak. Saya katakan bahwa kamu bukan orang yang berjiwa kerdil. Kamu bukan jenis orang yang mengagung-agungkan harga diri. Saya katakan mungkin kamu sedang tidak punya uang untuk ongkos atau kamu mungkin sedang sakit. Soalnya sudah agak lama saya tak membaca ada tulisan-tulisan kamu di koran.

Mendengar penjelasan saya itu, Om, Tante dan Mami tambah marah. Tapi aneh, kemarahan mereka dikeluarkan lewat ketawa yang ganjil dan seperti mau memecahkan kepala saya. Untung saya belakangan ini (mungkin karena kebiasaan yang saya peroleh di tempat kerja) sudah biasa bebal terhadap cemoohan-cemoohan semacam itu.

Sekarang saya ingin kejelasan dari kamu. O, tidak. Tidak! Bukan begitu maksud saya. Bukan apa-apa. Tapi rindukah juga kamu sama saya? Bagaimana cara kamu mengatasi kesepian selama ini? Mengatasi perasaan kosong? Jangan bohong! Kamu pasti pernah merasa sepi dan butuh saya. Dan terus terang sekarang soal inilah yang menjadi kekhawatiran saya terhadap kamu. Saya khawatir kamu mencari jalan pintas. Saya tak rela. Pokoknya tak rela! Astaga, saya jadi bingung. Walaupun saya sendiri..., aduh, saya jadi malu! Masih dapatkah kamu memaafkan saya?

Saya juga sering teringat ibumu di desa sana. Bagaimana kabar Ibu? Pernahkah Ibu menanyakan saya? Kasihan. Tentu Ibu sedih karena tak bisa melihat perkembangan cucu-cucunya yang lucu. Tolong kalau kamu sempat ke desa menengok Ibu dan Bapak, sampaikan salam saya. Ah, saya jadi merasa bersalah. Tapi apakah saya terus menerus mesti salah? Jadi saya harus bagaimana lagi? Bagaimana dan terus bagaimana? Persetan! Saya jadi kembali marah sama kamu. Ingin sekali saya membunuh kamu. Biar kamu tak pernah ada di dunia ini. Kenapa sih dulu kita bertemu? Kenapa kamu mencintai saya? Kenapa saya dulu jatuh cinta sama kamu? Kenapa anak-anak itu harus lahir dari kita?

Benar, saya kadang-kadang ingin kamu mati saja. Biar anak-anak itu menjadi milik saya saja. Biar tak terlalu banyak mikir. Tapi itu tak boleh. Enak saja kamu mati duluan. Pokoknya kamu tak boleh mati dulu. Saya larang dulu kamu mati. Paling tidak sampai saya merasa siap untuk itu. Siap menerima kematian kamu.

Pernah saya berpikir untuk mengajak kamu pergi sejauh-jauhnya. Tinggal di suatu tempat asing bersama anak-anak kita. Tempat yang tidak diketahui oleh siapapun, juga oleh keluarga yang senantiasa bertindak hidup kita sepenuhnya ada dalam keputusannya. Saya membayangkan itu akan cukup memberi ketenteraman. Kamu akan aman bekerja sesuai panggilan hati kamu. Saya aman dari teror dan keterkucilan atas silsilah keluarga terpandang dan modern. Keluarga yang menyerahkan martabatnya pada realitas benda-benda. Anak-anak pasti akan damai dalam pertumbuhannya yang alamiah. Tapi saya curiga lagi pada diri sendiri, akankah saya dapat bertahan dari rongrongan keraguan yang terlanjur mengakar dalam latar hidup saya?

Saya juga teringat pada apa yang pernah kamu bilang, bahwa selama cakrawala masih bundar, selama kepercayaan terhadap hati nurani belum menyatu dengan napas, segala macam pelarian tak akan dapat menolong. Kita senantiasa akan terjebak dan menyerah dalam kepungan berbagai pendapat, berbagai kepentingan yang seringkali tak berhubungan sama sekali dengan kedaulatan hidup kita.

Ya, kalau dipikir-pikir, keraguan saya sendirilah yang saat ini membuat saya hanya berlaku sebagai obyek pemuasan bagi obsesi ketenteraman, gengsi, bahkan naluri keberkuasaan orang-orang yang merasa telah membuat diri saya ada. Maksudnya, dulu saya sebenarnya senang ketika kamu mengajak saya tinggal jauh di luar lingkungan keluarga kamu dan keluarga saya. Sekarang saya bisa menangkap, bahwa saat itu kamu telah memberikan saya isyarat yang tegas bahwa kamu dan saya adalah sebuah lembaga yang punya kedaulatan sendiri. Waktu itu saya sempat merasa berani bangga. Berani bangga atas kamu sebagai pilihan saya. Apapun nama keadaan kita waktu itu, jujur saja, saya merasa aman. Mungkin itu yang bernama bahagia.

Sekarang apakah saya bahagia? Aneh rasanya. Pada siapa pertanyaan ini saya pertanyakan? Dan apakah ada jawabannya?

Tapi baiklah, terus terang, saya kadang-kadang menikmati juga keadaan saat ini. Enak juga seperti burung yang bebas. Terbang dan hinggap di mana suka. Dan...., ah, persetan! Yang terpenting adalah anak-anak. Karena saya tak akan kembali kepada kamu. Inilah keputusan saya sekarang. Saya lalukan, jalani dan nikmati yang ada dan terjadi saat ini, akhirnya adalah untuk anak-anak. Saya akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Demi (kalau bisa) kebahagiaan anak-anak. Eh, apa? Salah lagi? Habis, saya tambah bingung.

Tapi sungguh. Saya harus bertahan. Dan kamu pun harus bertahan. Saya yakinkan: kamu tak boleh mati dulu. Anak-anak memerlukan kamu. Sebentar lagi mereka akan mulai menanyakan ayahnya pada saya. Ya, kepada saya, tidak lagi pada pembantu, pada Mami atau siapapun. Anak-anak akan menanyakan kamu pada saya.***

Pedukuhan Seni Tibu Bunter 2000

Read More......
 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

cerita pendek NANOQ DA KANSAS © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu