Selasa, 26 Agustus 2008

Sapu

ORANG TUA itu dengan memelas memandang saya. Matanya yang cekung mengingatkan saya pada sebuah sumur di tengah-tengah bukit yang tandus. Sebuah bukit yang mengering dengan rekahan-rekahan tanah menganga, membentuk garis berliku-liku dan keras. Nafasnya mengingatkan saya pada lenguh kerbau yang sedang menghela gerobak dengan muatan bertumpuk. Kerbau ringkih, kurus dan tertatih karena tidak ada pilihan lain kecuali menghela saja beban itu.

Dua potong siku yang keluar dari lengan bajunya yang kumal dan berjamur, tertekuk dan bertelekan pada bibir meja, memberi sebuah bayangan pada berbagai pekerjaan yang menuntut penyelesaian bertahun-tahun, mengingatkan saya pada otot-otot meregang dan perih terbakar panas dan hujan. Jari-jemari yang kasar dan keras karena tercelup ke dalam adonan kehidupan pedesaan yang keras tetapi sahaja. Rambutnya mengingatkan masa kecil saya, di saat saya mengulur-ulur benang layangan di atas hamparan ladang kosong yang hanya dipenuhi oleh lalang-lalang yang sedang berbunga.

Bibirnya yang gemetar itu mengingatkan saya pada sebuah ketakutan di tengah-tengah suatu keterpaksaan. Seperti orang kebelet.
“Mohon. Saya mohon pohon cempaka putih itu jangan ditebang. Saya mohon, Pak Kepala Desa,” dia menghiba di depan saya. Saya diam. Saya pandangi saja dia. Saya menunggu dan membiarkan dia mengeluarkan segala yang hendak diucapkannya.
“Pohon cempaka putih itu adalah satu-satunya milik desa ini yang hasilnya dapat dinikmati bersama-sama oleh penduduk. Setiap hari-hari suci, atau setiap hendak melaksanakan upacara, mereka pasti mencari bunga itu. Anak-anak dan gadis-gadis remaja yang akan bersembahyang atau sehabis mengeramasi rambutnya, selalu pula mencari bunga itu. Setiap orang seakan merasa ada sesuatu yang kurang tanpa bunga cempaka itu. Entahlah, Pak Kepala Desa, pokoknya selama puluhan tahun saya dapat merasakan bahwa kesatuan dan kerukunan orang-orang di desa ini terwujud di bawah pohon cempaka putih itu. Oh, saya kira Bapak Kepala Desa telah tahu dan paham benar serta telah ikut pula merasakan hal itu. Bukankah Bapak selama ini telah melihat, bahwa setelah anak-anak muda pulang berlibur dari tempat kerja atau sekolah mereka di kota atau di luar pulau ini ketika hari raya tiba, mereka datang beramai-ramai ke pohon cempaka putih itu? Lalu sambil memetik bunganya, di bawah pohon cempaka putih itu pula mereka saling melepas rindu. Mereka bercanda atau bercerita setelah sekian lama tak saling bertemu. Bahkan banyak anak-anak muda desa ini yang mengikat cinta dan kasihnya di bawah pohon cempaka putih itu. Bukankah kita yang tua-tua selama ini telah begitu tenteram menyaksikan semua itu? Oh, rasanya tidak mungkin kehidupan di desa ini bisa bercahaya tanpa pohon cempaka putih itu. Sungguh. Sekali lagi saya mohon, Pak Kepala Desa, saya mohon jangan ditebang.”
Orang tua itu menarik nafas. Sekarang matanya terpejam. Dan dia menyandarkan kepalanya dengan lunglai di sandaran kursi tempat dia duduk.

Saya masih diam. Sementara keringat mulai melembabkan leher kemeja dinas saya. Saya perhatikan sekujur tubuh tua itu dengan lebih seksama. Saya nikmati gerak nafas yang kian kembang kempis ketika dia dengan agak kesulitan meredakan batuk yang tiba-tiba menyerangnya. Dan ini semakin mengingatkan saya pada kerbau ringkih yang menapaki jalan licin dan menanjak. Sementara sang sais dengan suara parau memukul-mukulkan ujung cemetinya dari atas gerobak yang berkreat-kreot. Di atas, matahari seperti hendak melelehkan daun-daun dan segala pepohonan.

Saya sodorkan gelas teh saya yang belum sempat saya minum. Tapi orang tua itu menolak dengan mengembangkan telapak tangan kanannya. Lalu tangan itu menekan dadanya. Saya menyulut sebatang rokok.

Sementara di ruang sebelah, para staf saya sibuk dengan suara-suara mesin ketiknya yang kacau. Sibuk dengan obrolan-obrolan dan kelakar bersama penduduk desa yang sedang mengurus pembayaran ganti rugi pembebasan tanahnya. Suara mereka ribut. Mendengung bagai suara lebah mencari sarang.

“Setelah dapat uang ini, bapak mau beli apa?” Kepala Urusan Pembangunan yang ruangannya persis di sebelah kanan ruangan saya terdengar bertanya entah kepada siapa.

“Tidak tahu pak, utang saya banyak. Paling-paling habis di situ.”

“Kenapa banyak utang?”

“Yah namanya petani kecil begini, Pak. Hasil kebun saja tidak cukup dimakan. Apalagi anak saya banyak. Mana beli pakaiannya. Mana bayar biaya sekolahnya. Payah, Pak.”

“Bapak tidak ikut KB?”

“Wah terlambat, Pak. Ha ha ha…, dan zaman-zaman pengantenan saya dulu belum ada KB seperti sekarang. Hahaha…”

“O, ya ya saya lupa hahaha…. Nah, kalau bapak yang ini, mau diapakan nanti uangnya?”

“Hmmm… rencananya saya mau simpan di bank, Pak. Tapi anak-anak minta beli TV baru. Istri saya nyuruh beli motor biar bisa dipakai ngojek. Yah, masih bingung saya.”

“Hahaha…, jangan lama-lama bingungnya lho, Pak. Berbahaya. Hahaha….”

“Ah, bapak ini ada-ada saja….”

Di sebelahnya lagi, di ruang Kepala Urusan Keuangan, obrolan yang sama juga tak kalah ramainya.
“Mau diapakan nanti uangnya, bu?”

“Saya mau buka warung saja, Pak. Saya tidak kuat kerja yang lain. Sejak suami saya meninggal, kebun itu saya suruh orang lain mengerjakannya. Bagi hasil begitu.”

“Apa selama ini hasilnya cukup?”

“Ya dicukup-cukupkan, Pak. Habis mau bagaimana lagi? Anak-anak saya masih kecil-kecil. Belum bisa menggantikan ayahnya untuk mengerjakan kebun.”

“Sekarang bagaimana perasaan ibu?”

“Aduh, bagaimana ya? Sebenarnya sayang juga kebun itu saya lepas. Rasanya ada dosa sama almarhum suami saya. Dulu kebun itu kami beli dengan tabungan kami sejak masih pengantin baru. Tapi bagaimana ya? Orang katanya ini demi kepentingan orang banyak, yah, saya iklas saja.”

Obrolan-obrolan seperti itu berlangsung terus. Sambung-menyambung Ribut. Bagai suara lebah madu mencari sarang. Mendengung di setiap sudut kantor saya.

Saya mengisap rokok sedalam-dalamnya. Gumpalan asap yang keruh itu terasa mendesak di dada. Menekan sampai ke rusuk-rusuk. Nyaris saya tersedak. Lalu rokok itu saya kucekkan di asbak.

Kembali saya pandangi kedua mata cekung itu. Saya mencoba mencari sesuatu di sana. Sesuatu yang dapat dijadikan kekuatan untuk membantu bibir saya mengucapkan sebuah jawaban. Kami jadi saling pandang. Saya lihat bibir bawah mata cekung itu bergetar. Tapi saya pandangi terus. Sampai kekuatan itu saya dapatkan dan berkumpul di ubun-ubun saya. Menjalar ke pipi saya, lalu ke mulut saya. Kemudian akhirnya meletus dengan lirih dan saya sendiri nyaris tak mendengar suara saya. “Tidak. Pohon cempaka putih itu harus ditebang. Kalau tidak, pohon itu akan mengganggu kelancaran pembangunan proyek itu. Maaf, Pak Tua. Besok pagi kita akan menebangnya!”
Lalu orang tua itu saya tinggalkan. Saya keluar dari ruang kerja saya. Masih banyak sekali proyek yang harus ditangani lagi. Saya kekurangan waktu!

bali suatu hari

Read More......

Rabu, 06 Agustus 2008

Dari Rumah Leak Di Sanur Itu

“AKU pulang,” ujarnya senja itu. Dia, Godam sahabatku, datang ke rumah kontrakanku di pinggir kota di atas tebing kali itu. Rambut gondrongnya terlihat lebih rapi dan mengkilat, seperti biasa dibiarkannya terurai melewati pundak. Kemejanya masih berwarna hitam. Celananya masih jeans. Sepatunya masih chiko. Dan, dua cincin perak berukir naga di telunjuk, tiga di jari tengah serta dua di jari manisnya masih juga bertengger.
Dia berdiri saja di halaman. Aku menolehnya sepintas lalu saling tertawa seperti yang biasa kami lakukan setiap bertemu.
“Kenapa pulang?”
“Ada teman membeli seratus lukisanku di Bandung. Hanya untuk hiasan di dinding hotelnya. Hanya hiasan,” jawabnya datar.
“He he he. Artinya kamu sedang banyak uang.”
“Ya, lumayan. Aku mau bikin studio di Ubud. Aku juga boyong anak-anak dan istriku. Besok kami sudah ke Ubud.”
“Baguslah. Nanti aku bisa mampir ke situ.”
Kami lalu ngobrol hal-hal lain.

ITU pertemuan kami terakhir tiga tahun yang lalu. Selanjutnya kami tak saling mengontak lagi. Kabar yang kudengar tentangnya pun tak pernah jelas. Ada teman mengatakan dia pindah ke Sanur. Ada yang bilang dia kost di Denpasar. Ada lagi yang bilang ke Surabaya. Ada yang membawa kabar dia sudah bercerai dengan istrinya. Terakhir, seorang teman lagi mengatakan dia kini menekuni semacam ajaran spiritual tertentu. “Dia sekarang rajin semadhi dan menekuni lontar kuno,” demikian teman itu.

Untuk kabar yang terakhir ini pun, aku masih tak menanggapinya serius. Aku tahu betul watak dan perilaku Godam yang pembosan. Sejak kami masih di bangku SD dia juga sudah sering berperilaku aneh-aneh agak mendekati mistik. Saat itu dia sering mengaku bisa melihat mahluk halus yang di daerah kami disebut wong samar, terutama bila kami sedang bermain di kali, di bukit-bukit atau di kebun orang mencari ranting bambu untuk bedil-bedilan. Aku sendiri saat itu tak pernah risau atau merasa takut dengan omongan atau perilakunya itu. Soalnya aku tak pernah percaya.

SIANG itu, seorang teman yang punya kios koran datang ke rumahku. Aku sedang di studio mengerjakan sebuah logo pesanan suatu perusahaan yang baru berdiri di kota kami. “Bacalah! Macam beginilah sebagian besar koran-koran lokal kita sekarang. Klenik dan mistik bisa menjadi lebih penting dan mendapat porsi lebih besar daripada persoalan-persoalan mendasar di masyarakat. Pembodohan!” katanya bersungut-sungut seraya melemparkan sebuah koran ke mejaku.

“Tak apa toh? Bisa jadi memang itu yang lebih disenangi pembaca dan membuat korannya laris,” aku menanggapinya tanpa menyentuh koran itu. Aku tetap suntuk pada komputerku.
“Tapi yang ini beritanya sudah keterlaluan. Wartawannya juga tampak seperti memaksa menggiring pembaca untuk memfonis seseorang,” teman itu masih berkata keras.
“Memang ada apa?”
“Bacalah sendiri!”
Aku menoleh juga ke koran itu. Aku lihat sebuah headline yang ditulis dengan tinta merah. “Ditemukan Rumah Leak di Sanur” – demikian bunyinya.

“He he he. Menarik juga. Aku baca nanti saja, ya?”

“Kemarin siang di TV juga ada berita ini,” sambungnya lagi.

“TV yang mana?”

Dia menyebut sebuah stasiun televisi lokal di daerah kami.
“O ya?”

“Leak yang menempati rumah itu konon bernama Godam,” ujarnya lagi lebih semangat.
“Heh?”

“Sudahlah. Baca sajalah beritanya nanti di situ. Aku mau pulang,” teman itu mendadak pulang. Mungkin dia jengkel melihat aku tak bereaksi atas kabar yang dibawanya. Padahal, ketika dia menyebut nama itu tadi aku memang agak kaget.

Tak lama berselang, datang lagi seseorang. Dia langsung masuk ke studio, berdiri agak jauh di belakangku. Aku tak memperhatikan, pun menyapanya. Teman-teman memang sudah biasa datang seperti itu.

“Aku pulang lagi,” suara itu seperti menyengatku.
Spontan aku menoleh. Nyaris aku tak mengenalinya. Godam! Ya, Godam! Tapi sekarang dia begitu kurus dan kumal. Rambutnya yang panjang terlihat lengket karena jarang dikeramas. Dia hanya mengenakan kaos oblong putih yang sudah robek lengan kanannya dan mengenakan kamben dari kain hitam kasar yang juga sudah teramat kumal. Aku terpaku di tempat dudukku tanpa bisa berkata sepatah pun. Mungkin saat itu aku juga lupa berkedip.

“He he heh. Aku pulang,” ujarnya lagi disertai suara tawa panjang agak berat. Tiba-tiba aku merinding. Beberapa saat aku bingung dan masih tak mampu mengucapkan sepatah kata untuk menyapanya.

“Aku minta kopi,” lanjutnya masih diiringi ketawa ganjil sambil mengambil rokokku di sebelah monitor komputerku. Tangannya tampak gemetar dengan urat-urat dan tulang yang menonjol.

“Ya. Ya. Duduklah,” aku gugup.


Sambil membuatkannya kopi, dengan tergesa-gesa aku baca berita headline koran tadi yang diam-diam aku bawa ke dapur.


  • Sebuah rumah leak ditemukan di Sanur. Dalam rumah yang terletak di tanah kosong dekat pembuangan sampah tersebut warga menemukan berbagai benda sakral yang biasa dipergunakan untuk ritual mistik. Di langit-langitnya terpasang kain kafan dua kali dua meter yang penuh rajahan dan terdapat tanda tangan berbunyi Godam. Setumpuk lontar kuno juga ditemukan dengan rajah huruf Bali Kuno dan gambar-gambar mistik. Sementara di seluruh bagian dinding ditemukan berbagai potongan bambu yang dililit dan digantung benang tiga warna. Seluruh benda-benda tersebut tertata sedemikian rupa, sehingga sangat meyakinkan sebagai tempat pemujaan setan atau tempat memperdalam sekaligus mempraktekkan ilmu pangleakan.
  • Aparat kepolisian yang turut menggeledah, saat ini sudah menyegel rumah tersebut dan memasang police line serta berjanji akan mengusut pelakunya yang diduga bernama Godam. Sementara itu, pemilik asli tanah sekaligus rumah kosong tersebut, mengatakan tak tahu menahu jika rumahnya dipakai sebagai sarang leak. Dia hanya mengaku pernah melihat seorang lelaki kurus berambut panjang sering keluar-masuk rumah kosong yang dulunya dipakai sebagai bedeng penampungan buruh bangunan saat dia membangun losmen. Saat itu dia pikir bahwa lelaki tersebut mungkin orang stress atau orang gila.

  • Sampai berita ini diturunkan, Godam yang tak jelas asalnya itu belum ditemukan. Namun pemilik asli rumah telah membuat perjanjian dengan pemimpin dan masyarakat adat setempat, bahwa jika dalam dua minggu sejak hari ini rumah tersebut tidak dikosongkan, maka segala isinya akan dimusnahkan atau dibakar. Sementara itu pula, beberapa sumber dari lingkungan sekitarnya mengaku memang sering mendengar lolongan anjing dan suara tangis bayi di tengah malam dari rumah tersebut...
Demikian secara garis besar aku baca berita yang menjadi headline koran itu. Tentu saja masih sebagian besar lagi paragrafnya penuh dengan kalimat-kalimat sensasional, yang mampu menggiring pembaca untuk percaya dan meyakini bahwa rumah itu memang rumah leak atau sarang mistik.

Tanpa tahu alasan yang jelas, aku jadi tersenyum sendiri di dapur.

“Ke mana saja kamu selama ini?” aku bertanya setelah dia menyeruput kopi yang kusuguhkan.

“Heh? Aku sempat tinggal di beberapa tempat. Terakhir, di Sanur,” sahutnya masih dengan tawa panjang yang tak begitu enak didengar. Aku tertegun. Berarti dia belum tahu berita di televisi lokal dan koran itu. Sejenak aku kembali kehilangan cara untuk membuat obrolan kami menjadi lebih akrab.

“Ya, seperti aku bilang dulu, aku sempat membuat studio di Ubud,” sambungnya kemudian.
“Tapi hanya beberapa bulan, lalu aku pindah ke Denpasar. Ada teman yang mengajakku mengerjakan mural di Surabaya. Sementara teman itu juga meminjam beberapa lukisanku yang katanya akan dijual untuk seseorang dari Belanda. Di Surabaya aku hanya dua minggu. Entah mengapa, perasaanku ingin pulang saja. Ketika pulang ke Denpasar, ternyata istriku sudah meninggalkan rumah beberapa hari sebelum aku tiba. Anak-anak kami dititipkannya di tetangga. Aku bingung dan sempat kacau terutama melihat keadaan anak-anakku. Mereka lalu aku bawa pulang ke sini dan aku titip ke orang tuaku. Kemudian aku menghubungi teman yang dulu meminjam lukisan itu. Aku memintanya agar diantar ke tempat di mana dia menaruh lukisan-lukisanku. Aku dijemputnya. Tapi ternyata aku dibawa ke sebuah bedeng tempat buruh-buruh bangunan di Sanur. Di sana tinggal dua belas orang buruh yang menggarap proyek teman tadi. Karena aku tak punya uang, terpaksa aku ikut tinggal di sana.”

“Suatu hari, ketika aku pulang dari suatu tempat, seluruh buruh-buruh itu sudah pergi. Dan mereka ternyata juga membawa beberapa barang serta pakaian-pakaian milikku. Aku bingung lagi. Dan teman itu juga tak pernah muncul lagi.”

“Aku berkali-kali menghubungi teleponnya, tapi tak pernah dijawab. Sementara uangku sudah habis. Aku akhirnya memutuskan tetap tinggal di rumah itu untuk menunggunya. Aku marah. Kecewa. Putus asa,” dia meneguk kopi dan menyulut sebatang rokok lagi.

“Sekian bulan teman itu tak juga muncul. Sementara listrik dan air di rumah itu sudah diputus karena aku tak mampu membayarnya. Berbulan-bulan dalam kesepian, tanpa bekal dan uang sepeser pun, tanpa lampu, tanpa air karena entah kenapa suatu hari ada orang memasukkan bangkai anjing ke dalam sumur bekas yang sebelumnya ada di situ, aku nekat tetap tinggal dan menunggu teman itu menjemputku untuk mempertanggungjawabkan lukisan-lukisanku yang dulu dipinjamnya. Aku juga berusaha mencari pekerjaan, tapi tak pernah berhasil.”

“Selama itu kamu makan apa?” aku menyela.

“Beberapa bulan pertama aku hanya makan bayam, buah terong liar dan buah pisang yang kebetulan ada di sana. Satu tandan pisang bisa aku jadikan persediaan hingga dua atau tiga minggu. Lalu entah bagaimana awalnya, sesekali mulai ada teman-teman lama yang datang. Mereka kadang-kadang memberiku uang sedikit. Aku membeli ubi. Sehari aku makan satu ubi yang aku bakar dengan sampah-sampah di sana. Air minum aku dapat dari sebuah kafe yang tak jauh dari tempat itu. Aku menukar sebotol dua botol air mineral dengan membuatkan mereka ornamen bingkai untuk daftar menu hidangan atau menu acara mereka setiap malam minggu.”

“Aku berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan orang-orang kafe itu, berharap aku diterima sebagai karyawannya. Tapi mereka tak percaya kalau aku orang waras. Mereka menganggap aku orang setengah gila yang bisa melukis. Itu saja. Mereka tak percaya aku waras karena melihat pakaianku yang kumal dan bau. Saat itu memang hanya tersisa satu celana jean belel, satu celana pendek dan dua buah kaos oblong. Berbulan-bulan aku tak pernah mandi dan mencuci dengan sabun.”

“Kenapa kamu tak pulang saja?” aku memotongnya lagi.

Pertanyaan ini membuatnya terdiam. Lama aku menunggu, tapi dia seperti tak mau bicara lagi. Aku jadi merasa bersalah.

“Selama itu kamu hanya hidup seperti itu saja? Hanya diam saja di rumah itu?” akhirnya setelah dia masih terdiam cukup lama aku kembali bertanya.

“Oh, tidak!” dia langsung menyergap pertanyaanku itu. “Kesepian, kegelapan dan kemiskinan itu akhirnya lama-lama aku nikmati. Aku pikir sekalian aku melakukan tapabrata sebagaimana jaman dulu orang bertapa di hutan. Aku justru menggunakan kesempatan itu untuk menggali-gali imajinasi yang ada di kepalaku. Dengan meditasi sederhana setiap hari, aku menggali-gali, mengingat lalu mengkristalisasikan kepingan-kepingan teori ilmiah yang aku dapat di kuliah seni rupa ITB dulu. Aku menemukan sepotong kain putih bekas di tumpukan kayu bekas bangunan. Aku melukisinya dengan arang dicampur getah pohon jarak berupa ornamen-ornamen rajah Bali yang memang aku minati sejak masih kuliah. Dengan sedikit sisa uang dari teman-teman yang sesekali datang, aku membeli daun lontar dan jarum, karena tak mungkin membeli kain atau kanvas apalagi kuas dan cat. Di daun-daun lontar itulah aku melukis dengan jarum. Lama-lama aku semakin akrab dengan rajah-rajah itu. Sesekali aku sembahyang meminta ijin Dewi Saraswati dan leluhurku untuk memindahkan huruf-huruf rajah itu menjadi bentuk-bentuk rupa di atas daun lontar yang bisa kupetik di sekitar tempat itu. Rajah-rajah itu aku pindahkan ke daun lontar sekemampuan imajinasi dan kontemplasiku. Di samping itu, bambu-bambu sisa bangunan yang berserakan di tanah kosong itu juga aku jadikan media meditatifku sekaligus untuk melupakan rasa lapar. Aku lilitkan benang merah, kuning dan hitam dengan pola perhitungan yang aku ciptakan sendiri. Aku menemukan ranting dan dedaunan kering, juga aku jadikan media yang sama. Suatu hari aku menemukan sebutir kelapa busuk bekas sesajen di tumpukan sampah. Ketika aku tuangkan isinya yang busuk itu, aku melihatnya ada unsur minyak di sana. Minyak dari kelapa busuk itu lalu aku olah dengan arang dari kayu tertentu untuk proses menghitamkan lontar yang telah aku rajah.”

“Dua tahun lebih itu aku lakukan. Memasuki tahun ketiga, di awal bulan ini, tiba-tiba aku merasa menemukan sebuah konsep untuk karya-karya itu. Bahwa semua itu bisa menjadi sebuah instalasi meditatif dari perjalanan hidupku sendiri. Aku lalu menyusun ulang seluruh benda-benda itu. Dan hari itu, aku merasa semuanya sudah selesai. Aku tiba-tiba begitu merindukan anak-anakku yang tak pernah aku jenguk sekali pun. Aku memutuskan pulang. Dengan uang pemberian seorang teman aku bisa pulang. Sudah seminggu lebih aku di sini. Sekarang aku memutuskan untuk mengurus sendiri anak-anakku. Yang paling besar ternyata sekarang sudah kelas dua SD,” dia berhenti sambil menarik nafas panjang seperti ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam dadanya.

Aku memejamkan mata. Tak tahu apa lagi yang harus aku tanyakan atau diobrolkan dengannya. Kami tetap sama-sama diam sampai hari telah menjadi sore dan dia pulang dengan langkahnya yang agak gontai. Entahlah, aku lupa untuk mengantarnya dengan motorku.

Baru saja aku mau mandi, tiba-tiba aku dengar anak tetangga sebelah berteriak di rumahnya. “Rumah leak dibakar! Rumah leak dibakar! Di TV ada rumah leak dibakar!” Aku kaget dan langsung menghidupkan televisi. Ya, dalam siaran berita sebuah televisi lokal, aku lihat sekelompok massa di suatu kawasan di Sanur sedang mengobrak-abrik sebuah rumah kecil kumuh di atas sebidang tanah kosong. Aku lihat orang-orang membongkar rangkaian bambu penuh lilitan benang merah kuning hitam, orang-orang membakar selembar kai putih penuh rajah, orang-orang meludahi setumpuk daun lontar yang juga sudah sebagiannya dibakar, aku melihat orang-orang menghancurkan sebuah tempat sembahyang sederhana, aku melihat police line yang sudah berantakan, aku melihat orang-orang berteriak kalap...

Tanpa pikir panjang aku mengambil sepeda motor menuju rumah Godam.

Seseorang yang kutemui di gang depan rumah orang tua Godam memberitahuku bahwa sahabatku itu sekarang tinggal di rumah kecil di halaman belakang. Aku berjalan kaki karena lorong sempit menuju rumah kecil itu tak cukup untuk dilewati sepeda motor.

Begitu tiba di ujung lorong, aku melihat Godam keluar dari kamar mandi menggendong kedua anaknya yang berteriak-teriak gembira. Aku memutuskan untuk berhenti di sana, memperhatikannya dari jauh. Dia tak melihat kehadiranku. Aku lihat dia mengenakan pakaian kepada anak-anaknya, menyisir rambut anak-anaknya yang lalu duduk dengan tertib di sebuah balai-balai bambu di emper depan rumah itu. Lalu dia masuk ke sebuah bilik kecil. Sejurus kemudian dia keluar membawa dua piring berisi nasi untuk anak-anaknya. “Pakai garam saja, nak, ya?” ujarnya yang segera ditanggapi dengan anggukan senang kedua anak kecil itu.
Saat itu juga aku berbalik. Aku pulang saja. Dalam perjalanan pulang itu aku menangis. Aku terbayang sebuah kata indah: kesenian...


Bali, di sebuah Januari

Read More......
 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

cerita pendek NANOQ DA KANSAS © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu