Senin, 17 November 2008

Alangkah Senangnya Aku Bersamamu

Bahwa kamu punya rumah di mana-mana, pertama kali aku dengar dari ayah. Lalu ibu turut pula meyakinkannya.

Juga di suatu tempat di mana setiap pagi aku digiring bersama anak-anak sebayaku oleh seorang perempuan cantik berbaju bersih. Kami digiring untuk bernyanyi. Kami digiring untuk bertepuk-tepuk tangan, berlari berputar-putar membentuk lingkaran, melompat-lompat di halaman dan lain sebagainya yang sering aku rasa sangat aneh dan menakjubkan. Aneh. Tapi, ah tidak. Pada dasarnya aku kira diriku saja yang sedikit lamban. Coba, untuk memahami bahwa tempat yang aku maksudkan ini adalah sebuah taman kanak-kanak saja, aku mesti melewati jangka waktu yang tidak sedikit. Sampai aku dan teman-teman sudah mahir menyanyikan beberapa buah lagu yang juga tidak kupahami benar maksudnya.

“Pelangi pelangi alangkah indahmu. Merah kuning hijau di langit yang biru. Pelukismu agung, siapa gerangan?” Aku hapal ada sebuah lagu yang menyebutkan bahwa kamulah yang melukis pelangi di angkasa itu. Lagu itu pula yang pertama menumbuhkan kekagumanku yang luar biasa padamu. Pikirku, alangkah hebatnya kamu. Melukis pelangi di angkasa. Tangga macam apakah yang telah kamu pergunakan untuk pekerjaan seperti itu?
Pertanyaan ini sempat membuat aku sakit hati. Sebab ketika aku utarakan di rumah, aku malah ditertawakan oleh seluruh saudara-saudaraku. Tiga orang kakakku, dua laki-laki dan satu perempuan. Bahkan tidak hanya sekedar tertawa. Mereka bahkan menonjok-nonjok jidatku dengan telunjuknya yang besar-besar. Aku tidak menangis memang. Aku tekankan, aku tidak menangis. Hanya nelangsa. Sedikit mendekati luka. Dan aku bertanya-tanya sendiri; besar sekalikah kesalahanku karena pertanyaan itu?
Tapi untunglah ayah segera menegur ketiga kakakku itu, sehingga mereka serentak diam. Ayah lalu menjelaskan perihal bagaimana kamu melukis pelangi di angkasa.
“Ya, sayang, tentu saja dia melukis pelangi itu dengan tangga yang sangat tinggi.”
“Tangga dari bambu atau dari kayu?” aku masih penasaran.
“Dari bambu.”
“Kenapa dari bambu?”
“Sebab bambu lebih mudah menebangnya dan juga besarnya sama. Sulit mencari banyak kayu yang besarnya sama.”
“Kenapa banyak?”
“Karena tempatnya tinggi, jadi harus disambung-sambung.”
“Bambu gampang disambung?”
“Ya, bambu gampang disambung.”
“Siapa yang membantunya membuat tangga?”
“Semua orang membantunya. Setiap orang menanam bambu agar dia tidak kekurangan bahan tangga.”
“Ayah juga menanam bambu?”
“Dulu kakek yang menanam.”
“Sekarang kakek di mana?”
“Sedang membantunya membuat tangga.”
“Kok kakek tidak pulang-pulang?”
“Karena masih banyak tangga yang harus dibuat.”
“Kok banyak?”
“Karena pelangi harus dilukis di mana-mana?”
“Banyak?”
“Ya, banyak.”
“Untuk apa?”
“Untuk membuat langit menjadi indah.”
“Langitnya siapa?”
“Langit semua orang.”
“Apa besok dia akan melukis pelangi lagi?”
“Mungkin.”
“Horreee! Besok kita akan melihat pelangi lagi!”
“Ya. Besok kita akan melihat pelangi lagi, sayang.”

Semua penjelasan ayah membuat aku terpesona padamu. Aku terpesona padamu.

Pada suatu malam, aku tidak turut bergabung bersama saudara-saudaraku yang bermain perang-perangan di halaman belakang. Aku duduk saja di ruang tengah di sebelah ibu yang sibuk denga renda-rendanya. Aku pandangi jari-jemari ibu yang bergerak lincah dan lembut di antara jarum dan benang-benang yang berwarna-warni. Aku pandangi wajah ibu yang anggun dalam kesuntukannya. Entah beberapa lama, tiba-tiba aku tidak melihat ibu yang merenda lagi, tetapi aku melihat kamu yang asyik melukis pelangi di angkasa. Tiba-tiba aku merasa dadaku berdebar dengan hebat. Aku melihat kamu melukis pelangi di angkasa. Aku jadi takut. Aku takut kehilangan ibu. Aku panik, lalu menjerit-jerit memanggil ibu. Ya, aku menjerit-jerit sekuatnya. Sampai tak ada kekuatan lagi padaku. Sampai aku lelah dan tertidur.
Selanjutnya, setelah aku menjerit-jerit itu, aku menjadi terbiasa setiap tidur bertemu denganmu. Kamu masih ingat bukan? Setiap kita bertemu, kamu selalu mengajakku ke suatu tempat yang tidak seorang lain pun ada kecuali kita. Sepanjang pertemuan itu kamu mengajakku ke dalam berbagai macam permainan. Dan kamu memang berbeda dengan teman-temanku yang lain. Kamu tidak pernah marah atau menjejalkan kesalahan hanya kepadaku bila suatu saat permainan kita tidak berjalan sebaik biasanya. Dalam hatiku, diam-diam tumbuh lagi sebuah kekaguman yang lain. Kamu sungguh bijaksana. Dan inilah yang lama-lama membuatku tidak begitu betah lagi bergabung dengan teman-temanku di sekolah atau di lorong di depan rumah. Habis, mereka semua kasar-kasar terhadapku. Kesalahan macam apapun yang terjadi dalam permainan kami, mereka pasti menudingku sebagai sumbernya. Mata mereka mendelik sembari berteriak-teriak: “Bodoh kamu!” “Pandir kamu!”

Wahai! Walau dengan menangis sesenggukan pun aku tak dapat menolong diriku bila keadaan sudah demikian.

Meskipun setiap saat aku masih suka duduk-duduk, berlari-larian atau berjalan-jalan di tengah-tengah teman yang lain, kita: aku dan kamu, punya cara bermain yang lain. Ketika aku sedih karena ditolak ikut bermain kelereng dalam rombongan Si Agus, kamu malah menghiburku dengan merubah dirimu menjadi kelereng yang mereka mainkan itu. Alangkah lucu dan manisnya kamu jadi kelereng. Aku sampai terpingkal-pingkal melihatmu. Tapi karena aku tertawa itulah aku disalahkan lagi oleh mereka.
“Diam kamu! Kenapa tertawa? Mengejek aku ya?”
“Ya. Pasti dia mengejek karena kamu kalah dariku.”
“Awas kamu! Pergi! Kamu mengganggu saja!”
“Ah, biarkan saja dia. Dia kan cuma menonton?”
“Tapi dia menertawai aku. Makanya aku kalah!”
“Ya, sudah. Kita usir saja dia!”
“Ayo pergi jauh-jauh! Awas mendekat lagi!”

Mereka mengusirku. Mereka kira aku menertawakan permainannya. Padahal aku tertawa karena melihatmu lucu sekali menjadi kelereng. Maka sambil menangis aku pergi menjauh. Aku sedih karena dikucilkan. Tapi, eh, kamu malah memecahkan dirimu dan berhenti menjadi kelereng yang mereka mainkan itu. Kamu menyusulku dan menemaniku lagi dengan menjadi kupu-kupu. Lalu kita berkejaran di atas rumput mencari bunga-bunga yang bermekaran.

Ya, setiap saat kamu selalu menemani dan meluangkan waktu untukku. Sampai sekarang. Sampai dunia ini menjadi kenyataan bagiku. Sampai aku menjadi kenyataan bagi dunia. Ketika aku lapar, kamu menjelma menjadi makanan yang dihidangkan ibuku. Ketika aku perlu pakaian dan rumah, kamu menjelma menjadi pakaian dan rumah yang dikerjakan ibu dan ayahku. Ketika aku perlu laut, kamu menjadi laut yang terhampar di depanku. Ketika aku ingin melihat gunung, kamu menjadi gunung yang tegak kokoh di depanku. Ketika aku ingin ada yang mencintai dengan tulus, kamu mencintaiku dengan tulus. Alangkah tulusnya kamu. Alangkah…, alangkah senangnya aku bersamamu!***
Suatu saat

Read More......

Selasa, 07 Oktober 2008

Pikiran yang Tak Bahagia

Aku ingin sekali pergi ke rumah saudara (sepupu misalnya), di suatu tempat yang jauh sekali, membawa oleh-oleh dan kedatanganku membuat mereka bahagia. Aku ingin naik bus tua, lalu menuju rumah sudara itu (sepupu misalnya), naik angkutan tradisional, melihat sawah di kiri-kanan. Selanjutnya aku ingin jatuh cinta kepada anak gadis tetangga saudara (sepupu misalnya) yang kukunjungi itu, lalu kami sering berjalan-jalan di antara anak-anak tetangga lainnya yang bermain sepanjang siang.

Ketika aku harus pulang, anak gadis tetangga itu menangis. Aku jadi terus kangen padanya. Tapi masalahnya aku tak punya saudara (sepupu misalnya), yang tinggal sejauh bayangan dalam pikiranku. Dan juga mungkin aku tak punya saudara (sepupu misalnya), yang akan bahagia bila kukunjungi.
nanoq da kansas

Read More......

Selasa, 26 Agustus 2008

Sapu

ORANG TUA itu dengan memelas memandang saya. Matanya yang cekung mengingatkan saya pada sebuah sumur di tengah-tengah bukit yang tandus. Sebuah bukit yang mengering dengan rekahan-rekahan tanah menganga, membentuk garis berliku-liku dan keras. Nafasnya mengingatkan saya pada lenguh kerbau yang sedang menghela gerobak dengan muatan bertumpuk. Kerbau ringkih, kurus dan tertatih karena tidak ada pilihan lain kecuali menghela saja beban itu.

Dua potong siku yang keluar dari lengan bajunya yang kumal dan berjamur, tertekuk dan bertelekan pada bibir meja, memberi sebuah bayangan pada berbagai pekerjaan yang menuntut penyelesaian bertahun-tahun, mengingatkan saya pada otot-otot meregang dan perih terbakar panas dan hujan. Jari-jemari yang kasar dan keras karena tercelup ke dalam adonan kehidupan pedesaan yang keras tetapi sahaja. Rambutnya mengingatkan masa kecil saya, di saat saya mengulur-ulur benang layangan di atas hamparan ladang kosong yang hanya dipenuhi oleh lalang-lalang yang sedang berbunga.

Bibirnya yang gemetar itu mengingatkan saya pada sebuah ketakutan di tengah-tengah suatu keterpaksaan. Seperti orang kebelet.
“Mohon. Saya mohon pohon cempaka putih itu jangan ditebang. Saya mohon, Pak Kepala Desa,” dia menghiba di depan saya. Saya diam. Saya pandangi saja dia. Saya menunggu dan membiarkan dia mengeluarkan segala yang hendak diucapkannya.
“Pohon cempaka putih itu adalah satu-satunya milik desa ini yang hasilnya dapat dinikmati bersama-sama oleh penduduk. Setiap hari-hari suci, atau setiap hendak melaksanakan upacara, mereka pasti mencari bunga itu. Anak-anak dan gadis-gadis remaja yang akan bersembahyang atau sehabis mengeramasi rambutnya, selalu pula mencari bunga itu. Setiap orang seakan merasa ada sesuatu yang kurang tanpa bunga cempaka itu. Entahlah, Pak Kepala Desa, pokoknya selama puluhan tahun saya dapat merasakan bahwa kesatuan dan kerukunan orang-orang di desa ini terwujud di bawah pohon cempaka putih itu. Oh, saya kira Bapak Kepala Desa telah tahu dan paham benar serta telah ikut pula merasakan hal itu. Bukankah Bapak selama ini telah melihat, bahwa setelah anak-anak muda pulang berlibur dari tempat kerja atau sekolah mereka di kota atau di luar pulau ini ketika hari raya tiba, mereka datang beramai-ramai ke pohon cempaka putih itu? Lalu sambil memetik bunganya, di bawah pohon cempaka putih itu pula mereka saling melepas rindu. Mereka bercanda atau bercerita setelah sekian lama tak saling bertemu. Bahkan banyak anak-anak muda desa ini yang mengikat cinta dan kasihnya di bawah pohon cempaka putih itu. Bukankah kita yang tua-tua selama ini telah begitu tenteram menyaksikan semua itu? Oh, rasanya tidak mungkin kehidupan di desa ini bisa bercahaya tanpa pohon cempaka putih itu. Sungguh. Sekali lagi saya mohon, Pak Kepala Desa, saya mohon jangan ditebang.”
Orang tua itu menarik nafas. Sekarang matanya terpejam. Dan dia menyandarkan kepalanya dengan lunglai di sandaran kursi tempat dia duduk.

Saya masih diam. Sementara keringat mulai melembabkan leher kemeja dinas saya. Saya perhatikan sekujur tubuh tua itu dengan lebih seksama. Saya nikmati gerak nafas yang kian kembang kempis ketika dia dengan agak kesulitan meredakan batuk yang tiba-tiba menyerangnya. Dan ini semakin mengingatkan saya pada kerbau ringkih yang menapaki jalan licin dan menanjak. Sementara sang sais dengan suara parau memukul-mukulkan ujung cemetinya dari atas gerobak yang berkreat-kreot. Di atas, matahari seperti hendak melelehkan daun-daun dan segala pepohonan.

Saya sodorkan gelas teh saya yang belum sempat saya minum. Tapi orang tua itu menolak dengan mengembangkan telapak tangan kanannya. Lalu tangan itu menekan dadanya. Saya menyulut sebatang rokok.

Sementara di ruang sebelah, para staf saya sibuk dengan suara-suara mesin ketiknya yang kacau. Sibuk dengan obrolan-obrolan dan kelakar bersama penduduk desa yang sedang mengurus pembayaran ganti rugi pembebasan tanahnya. Suara mereka ribut. Mendengung bagai suara lebah mencari sarang.

“Setelah dapat uang ini, bapak mau beli apa?” Kepala Urusan Pembangunan yang ruangannya persis di sebelah kanan ruangan saya terdengar bertanya entah kepada siapa.

“Tidak tahu pak, utang saya banyak. Paling-paling habis di situ.”

“Kenapa banyak utang?”

“Yah namanya petani kecil begini, Pak. Hasil kebun saja tidak cukup dimakan. Apalagi anak saya banyak. Mana beli pakaiannya. Mana bayar biaya sekolahnya. Payah, Pak.”

“Bapak tidak ikut KB?”

“Wah terlambat, Pak. Ha ha ha…, dan zaman-zaman pengantenan saya dulu belum ada KB seperti sekarang. Hahaha…”

“O, ya ya saya lupa hahaha…. Nah, kalau bapak yang ini, mau diapakan nanti uangnya?”

“Hmmm… rencananya saya mau simpan di bank, Pak. Tapi anak-anak minta beli TV baru. Istri saya nyuruh beli motor biar bisa dipakai ngojek. Yah, masih bingung saya.”

“Hahaha…, jangan lama-lama bingungnya lho, Pak. Berbahaya. Hahaha….”

“Ah, bapak ini ada-ada saja….”

Di sebelahnya lagi, di ruang Kepala Urusan Keuangan, obrolan yang sama juga tak kalah ramainya.
“Mau diapakan nanti uangnya, bu?”

“Saya mau buka warung saja, Pak. Saya tidak kuat kerja yang lain. Sejak suami saya meninggal, kebun itu saya suruh orang lain mengerjakannya. Bagi hasil begitu.”

“Apa selama ini hasilnya cukup?”

“Ya dicukup-cukupkan, Pak. Habis mau bagaimana lagi? Anak-anak saya masih kecil-kecil. Belum bisa menggantikan ayahnya untuk mengerjakan kebun.”

“Sekarang bagaimana perasaan ibu?”

“Aduh, bagaimana ya? Sebenarnya sayang juga kebun itu saya lepas. Rasanya ada dosa sama almarhum suami saya. Dulu kebun itu kami beli dengan tabungan kami sejak masih pengantin baru. Tapi bagaimana ya? Orang katanya ini demi kepentingan orang banyak, yah, saya iklas saja.”

Obrolan-obrolan seperti itu berlangsung terus. Sambung-menyambung Ribut. Bagai suara lebah madu mencari sarang. Mendengung di setiap sudut kantor saya.

Saya mengisap rokok sedalam-dalamnya. Gumpalan asap yang keruh itu terasa mendesak di dada. Menekan sampai ke rusuk-rusuk. Nyaris saya tersedak. Lalu rokok itu saya kucekkan di asbak.

Kembali saya pandangi kedua mata cekung itu. Saya mencoba mencari sesuatu di sana. Sesuatu yang dapat dijadikan kekuatan untuk membantu bibir saya mengucapkan sebuah jawaban. Kami jadi saling pandang. Saya lihat bibir bawah mata cekung itu bergetar. Tapi saya pandangi terus. Sampai kekuatan itu saya dapatkan dan berkumpul di ubun-ubun saya. Menjalar ke pipi saya, lalu ke mulut saya. Kemudian akhirnya meletus dengan lirih dan saya sendiri nyaris tak mendengar suara saya. “Tidak. Pohon cempaka putih itu harus ditebang. Kalau tidak, pohon itu akan mengganggu kelancaran pembangunan proyek itu. Maaf, Pak Tua. Besok pagi kita akan menebangnya!”
Lalu orang tua itu saya tinggalkan. Saya keluar dari ruang kerja saya. Masih banyak sekali proyek yang harus ditangani lagi. Saya kekurangan waktu!

bali suatu hari

Read More......
 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

cerita pendek NANOQ DA KANSAS © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu