Alangkah Senangnya Aku Bersamamu
Bahwa kamu punya rumah di mana-mana, pertama kali aku dengar dari ayah. Lalu ibu turut pula meyakinkannya.
Juga di suatu tempat di mana setiap pagi aku digiring bersama anak-anak sebayaku oleh seorang perempuan cantik berbaju bersih. Kami digiring untuk bernyanyi. Kami digiring untuk bertepuk-tepuk tangan, berlari berputar-putar membentuk lingkaran, melompat-lompat di halaman dan lain sebagainya yang sering aku rasa sangat aneh dan menakjubkan. Aneh. Tapi, ah tidak. Pada dasarnya aku kira diriku saja yang sedikit lamban. Coba, untuk memahami bahwa tempat yang aku maksudkan ini adalah sebuah taman kanak-kanak saja, aku mesti melewati jangka waktu yang tidak sedikit. Sampai aku dan teman-teman sudah mahir menyanyikan beberapa buah lagu yang juga tidak kupahami benar maksudnya.
“Pelangi pelangi alangkah indahmu. Merah kuning hijau di langit yang biru. Pelukismu agung, siapa gerangan?” Aku hapal ada sebuah lagu yang menyebutkan bahwa kamulah yang melukis pelangi di angkasa itu. Lagu itu pula yang pertama menumbuhkan kekagumanku yang luar biasa padamu. Pikirku, alangkah hebatnya kamu. Melukis pelangi di angkasa. Tangga macam apakah yang telah kamu pergunakan untuk pekerjaan seperti itu?
Pertanyaan ini sempat membuat aku sakit hati. Sebab ketika aku utarakan di rumah, aku malah ditertawakan oleh seluruh saudara-saudaraku. Tiga orang kakakku, dua laki-laki dan satu perempuan. Bahkan tidak hanya sekedar tertawa. Mereka bahkan menonjok-nonjok jidatku dengan telunjuknya yang besar-besar. Aku tidak menangis memang. Aku tekankan, aku tidak menangis. Hanya nelangsa. Sedikit mendekati luka. Dan aku bertanya-tanya sendiri; besar sekalikah kesalahanku karena pertanyaan itu?
Tapi untunglah ayah segera menegur ketiga kakakku itu, sehingga mereka serentak diam. Ayah lalu menjelaskan perihal bagaimana kamu melukis pelangi di angkasa.
“Ya, sayang, tentu saja dia melukis pelangi itu dengan tangga yang sangat tinggi.”
“Tangga dari bambu atau dari kayu?” aku masih penasaran.
“Dari bambu.”
“Kenapa dari bambu?”
“Sebab bambu lebih mudah menebangnya dan juga besarnya sama. Sulit mencari banyak kayu yang besarnya sama.”
“Kenapa banyak?”
“Karena tempatnya tinggi, jadi harus disambung-sambung.”
“Bambu gampang disambung?”
“Ya, bambu gampang disambung.”
“Siapa yang membantunya membuat tangga?”
“Semua orang membantunya. Setiap orang menanam bambu agar dia tidak kekurangan bahan tangga.”
“Ayah juga menanam bambu?”
“Dulu kakek yang menanam.”
“Sekarang kakek di mana?”
“Sedang membantunya membuat tangga.”
“Kok kakek tidak pulang-pulang?”
“Karena masih banyak tangga yang harus dibuat.”
“Kok banyak?”
“Karena pelangi harus dilukis di mana-mana?”
“Banyak?”
“Ya, banyak.”
“Untuk apa?”
“Untuk membuat langit menjadi indah.”
“Langitnya siapa?”
“Langit semua orang.”
“Apa besok dia akan melukis pelangi lagi?”
“Mungkin.”
“Horreee! Besok kita akan melihat pelangi lagi!”
“Ya. Besok kita akan melihat pelangi lagi, sayang.”
“Ya, sayang, tentu saja dia melukis pelangi itu dengan tangga yang sangat tinggi.”
“Tangga dari bambu atau dari kayu?” aku masih penasaran.
“Dari bambu.”
“Kenapa dari bambu?”
“Sebab bambu lebih mudah menebangnya dan juga besarnya sama. Sulit mencari banyak kayu yang besarnya sama.”
“Kenapa banyak?”
“Karena tempatnya tinggi, jadi harus disambung-sambung.”
“Bambu gampang disambung?”
“Ya, bambu gampang disambung.”
“Siapa yang membantunya membuat tangga?”
“Semua orang membantunya. Setiap orang menanam bambu agar dia tidak kekurangan bahan tangga.”
“Ayah juga menanam bambu?”
“Dulu kakek yang menanam.”
“Sekarang kakek di mana?”
“Sedang membantunya membuat tangga.”
“Kok kakek tidak pulang-pulang?”
“Karena masih banyak tangga yang harus dibuat.”
“Kok banyak?”
“Karena pelangi harus dilukis di mana-mana?”
“Banyak?”
“Ya, banyak.”
“Untuk apa?”
“Untuk membuat langit menjadi indah.”
“Langitnya siapa?”
“Langit semua orang.”
“Apa besok dia akan melukis pelangi lagi?”
“Mungkin.”
“Horreee! Besok kita akan melihat pelangi lagi!”
“Ya. Besok kita akan melihat pelangi lagi, sayang.”
Semua penjelasan ayah membuat aku terpesona padamu. Aku terpesona padamu.
Pada suatu malam, aku tidak turut bergabung bersama saudara-saudaraku yang bermain perang-perangan di halaman belakang. Aku duduk saja di ruang tengah di sebelah ibu yang sibuk denga renda-rendanya. Aku pandangi jari-jemari ibu yang bergerak lincah dan lembut di antara jarum dan benang-benang yang berwarna-warni. Aku pandangi wajah ibu yang anggun dalam kesuntukannya. Entah beberapa lama, tiba-tiba aku tidak melihat ibu yang merenda lagi, tetapi aku melihat kamu yang asyik melukis pelangi di angkasa. Tiba-tiba aku merasa dadaku berdebar dengan hebat. Aku melihat kamu melukis pelangi di angkasa. Aku jadi takut. Aku takut kehilangan ibu. Aku panik, lalu menjerit-jerit memanggil ibu. Ya, aku menjerit-jerit sekuatnya. Sampai tak ada kekuatan lagi padaku. Sampai aku lelah dan tertidur.
Selanjutnya, setelah aku menjerit-jerit itu, aku menjadi terbiasa setiap tidur bertemu denganmu. Kamu masih ingat bukan? Setiap kita bertemu, kamu selalu mengajakku ke suatu tempat yang tidak seorang lain pun ada kecuali kita. Sepanjang pertemuan itu kamu mengajakku ke dalam berbagai macam permainan. Dan kamu memang berbeda dengan teman-temanku yang lain. Kamu tidak pernah marah atau menjejalkan kesalahan hanya kepadaku bila suatu saat permainan kita tidak berjalan sebaik biasanya. Dalam hatiku, diam-diam tumbuh lagi sebuah kekaguman yang lain. Kamu sungguh bijaksana. Dan inilah yang lama-lama membuatku tidak begitu betah lagi bergabung dengan teman-temanku di sekolah atau di lorong di depan rumah. Habis, mereka semua kasar-kasar terhadapku. Kesalahan macam apapun yang terjadi dalam permainan kami, mereka pasti menudingku sebagai sumbernya. Mata mereka mendelik sembari berteriak-teriak: “Bodoh kamu!” “Pandir kamu!”
Wahai! Walau dengan menangis sesenggukan pun aku tak dapat menolong diriku bila keadaan sudah demikian.
Meskipun setiap saat aku masih suka duduk-duduk, berlari-larian atau berjalan-jalan di tengah-tengah teman yang lain, kita: aku dan kamu, punya cara bermain yang lain. Ketika aku sedih karena ditolak ikut bermain kelereng dalam rombongan Si Agus, kamu malah menghiburku dengan merubah dirimu menjadi kelereng yang mereka mainkan itu. Alangkah lucu dan manisnya kamu jadi kelereng. Aku sampai terpingkal-pingkal melihatmu. Tapi karena aku tertawa itulah aku disalahkan lagi oleh mereka.
“Diam kamu! Kenapa tertawa? Mengejek aku ya?”
“Ya. Pasti dia mengejek karena kamu kalah dariku.”
“Awas kamu! Pergi! Kamu mengganggu saja!”
“Ah, biarkan saja dia. Dia kan cuma menonton?”
“Tapi dia menertawai aku. Makanya aku kalah!”
“Ya, sudah. Kita usir saja dia!”
“Ayo pergi jauh-jauh! Awas mendekat lagi!”
“Diam kamu! Kenapa tertawa? Mengejek aku ya?”
“Ya. Pasti dia mengejek karena kamu kalah dariku.”
“Awas kamu! Pergi! Kamu mengganggu saja!”
“Ah, biarkan saja dia. Dia kan cuma menonton?”
“Tapi dia menertawai aku. Makanya aku kalah!”
“Ya, sudah. Kita usir saja dia!”
“Ayo pergi jauh-jauh! Awas mendekat lagi!”
Mereka mengusirku. Mereka kira aku menertawakan permainannya. Padahal aku tertawa karena melihatmu lucu sekali menjadi kelereng. Maka sambil menangis aku pergi menjauh. Aku sedih karena dikucilkan. Tapi, eh, kamu malah memecahkan dirimu dan berhenti menjadi kelereng yang mereka mainkan itu. Kamu menyusulku dan menemaniku lagi dengan menjadi kupu-kupu. Lalu kita berkejaran di atas rumput mencari bunga-bunga yang bermekaran.
Ya, setiap saat kamu selalu menemani dan meluangkan waktu untukku. Sampai sekarang. Sampai dunia ini menjadi kenyataan bagiku. Sampai aku menjadi kenyataan bagi dunia. Ketika aku lapar, kamu menjelma menjadi makanan yang dihidangkan ibuku. Ketika aku perlu pakaian dan rumah, kamu menjelma menjadi pakaian dan rumah yang dikerjakan ibu dan ayahku. Ketika aku perlu laut, kamu menjadi laut yang terhampar di depanku. Ketika aku ingin melihat gunung, kamu menjadi gunung yang tegak kokoh di depanku. Ketika aku ingin ada yang mencintai dengan tulus, kamu mencintaiku dengan tulus. Alangkah tulusnya kamu. Alangkah…, alangkah senangnya aku bersamamu!***
Suatu saat
Read More......