Sabtu, 19 Juli 2008

Aku Ingin Menepati Janji Sekali Saja

“YA, sesekali, nginaplah kamu di rumah,” kata Ayah di senja yang basah itu. Kami duduk di bale pemogbog di halaman bersama Ibu, adikku Dwi dan istrinya Kadek Lia serta temanku Ibed. Aku dan Ibed baru menghabiskan separuh cangkir kopi yang disuguhkan Lia. Kami sedang dalam tugas membuat beberapa foto Kebaktian Natal di Gereja Palasari yang tak begitu jauh dengan dusunku. Dan aku sengaja mengajak Ibed berangkat agak sore untuk bisa mampir dulu ke rumah. Juga sambil menunggu hujan reda.

Aku langsung paham maksud Ayah. Mungkin dia memang rindu padaku. Sudah dua tahun lebih aku tak pulang.

Aku bekerja sebagai redaktur pelaksana sebuah koran lokal. Walaupun aku bekerja di kota kabupaten berjarak tak lebih dari tujuh belas kilometer dari rumah, aku memang jarang pulang. Bahkan sekali lagi, terakhir ini aku sudah dua tahun lebih tak pulang. Selama ini aku tidur di mana-mana. Di rumah teman, di kantor, di losmen atau tidak tidur sama sekali. Sedang “tempat tinggal tetapku” adalah di ruang kerja redaksi yang sempit itu. Aku tak pernah risau mengurus diriku yang seorang diri ini. Sementara itu, telah belasan kali pula beberapa teman atau tetangga yang aku temui menyampaikan pesan Ayah agar aku pulang sesekali saja. Aku selalu mengatakan pada mereka untuk menyampaikan janjiku pada Ayah bahwa nanti kalau sudah sempat aku akan pulang.

Padahal dalam beberapa kali tugas peliputan, aku melewati dusunku. Bahkan pula, sekali pernah aku meliput kegiatan Pak Gubernur di dusunku sendiri. Waktu itu Pak Gubernur datang meresmikan pembangunan pusat penetasan ayam buras. Aku sempat bertemu Ayah. Tapi karena dia sibuk sebagai panitia dan aku sibuk wawancara serta membuat beberapa foto, kami tak sempat bertegur sapa. Di akhir kunjungan Pak Gubernur itu aku langsung berangkat ikut rombongan menuju lokasi kunjungan lainnya. Aku terburu-buru karena numpang di mobil humas protokol pemda.

“Ya, saya dan Ibed memang mau menginap. Besok pagi saya ingin masakan daun singkong bikinan Ibu,” aku menanggapi Ayah. Kami lalu ngobrol hal-hal lain. Ayah mengeluh soal jalan yang melintas di depan rumah kami. Katanya jalan itu sudah dua tahun direncanakan diaspal, tapi kenyataannya tidak. “Padahal kami di sini sudah melakukan persiapan maksimal. Banjar sudah terus bergotong royong mempersiapkannya. Enam warga secara sukarela sudah mengorbankan tanahnya untuk memperlebar bagian jalan yang sempit. Bahkan tanah kebun kita sendiri kena sepuluh are untuk menyambung jalan itu tembus ke dusun sebelah. Tapi heran, aspalnya ternyata tak datang-datang juga,” Ayah menarik nafas. Nampak sekali dia kecewa.

“Sabar sajalah. Nanti juga pasti diaspal. Lagi pula apa perlunya diaspal? Toh biar jalan tanah begini, orang-orang tetap bisa lewat,” aku menanggapi seperlunya.

“Ayah memang tak perlu aspal. Tapi warga banjar di sini sangat ingin jalan ini diaspal. Mereka sudah mengorbankan sebagian tanahnya dengan harapan bisa punya jalan beraspal,” Ayah masih ngotot. Aku sendiri sebenarnya cukup paham. Memang wajar jika warga banjar di sini ngotot soal aspal itu. Soalnya dari dulu janji-janjinya memang begitu. Bukan hanya dua tahun terakhir ini. Dari dulu sekali, sejak jaman Golkar. Para tokoh-tokoh Golkar dulu silih berganti datang ke sini membawa janji bahwa jalan ini akan diaspal. Lalu ketika reformasi, tokoh-tokoh PDI Perjuangan dan beberapa partai lainnya juga datang dengan janji yang sama. “Enam bulan lalu, Pak Wakil Bupati juga berjanji akan memperjuangkannya,” sambung Ayah.

“Yah, janganlah berharap lebih kepada seorang pejabat. Dia terlalu banyak urusan. Kasihan dia,” aku tertawa.

“Tetapi jalan ini memang layak mendapat perhatian. Jalan ini adalah satu-satunya akses menuju dusun dan desa sebelah yang menggerakkan perekonomian masyarakat di sini. Kasihan para tukang ojek, dagang sayur, saudagar coklat atau pembeli kelapa dan yang lainnya. Dengan kondisi jalan seperti ini, harga hasil kebun kita di sini juga jadi sangat murah,” timpal adikku Dwi tak mau kalah.

“Yah, sabarlah. Mudah-mudahan aspal segera datang. Ngomong-ngomong, kapan kalian akan punya anak?” aku mengalihkan obrolan.

Jam tujuh petang aku dan Ibed meninggalkan rumah menuju Gereja Palasari, gereja terbesar dan tertua di Kabupaten Jembrana – Bali barat di pinggir hutan sana. “Kamu jadi menginap, kan?” Ayah kembali bertanya. Aku meyakinkannya. Aku dan Ibed lalu menembus gerimis dengan sepeda motor.

Acara kebaktian di gereja ternyata baru akan dimulai jam sembilan malam. Di depan pintu gerbang gereja yang gelap tanpa lampu, aku dan Ibed diperiksa terlebih dahulu oleh enam orang petugas dari Sektor Kepolisian Melaya yang berjaga lengkap dengan alat pendeteksi logam. Tas kami dikeluarkan isinya. Kamera dan beberapa catatanku diperiksa dengan teliti. “Maaf, ini memang prosedur. Jangan tersinggung,” kata salah seorang polisi itu sambil menyalakan lampu senter. Dari suaranya itu aku bisa mengenali, ternyata dia temanku yang sekarang bertugas di bagian intel Polres. “Tak apa-apa. Periksa sajalah,” jawabku. Dan dia pun kaget begitu mengenali suaraku. Kami lalu sama-sama tertawa.

Yang agak lucu adalah ketika tas Ibed diperiksa. Meskipun seluruh isi tas tersebut sudah dikeluarkan, alat pendeteksi logam yang digerak-gerakkan polisi itu masih berbunyi keras. Sekujur badan Ibed pun diperiksa. Kami sampai sempat merasa tak enak. Sementara Ibed hanya cengar-cengir kebingungan. Untunglah kejadian itu tak berlangsung lama. Seorang polisi yang lain menyimpulkan bahwa resleting tas Ibed-lah yang membuat alat itu berbunyi. Kami lalu semua tertawa. Memang, resleting tas Ibed terbuat dari besi asli. Maklum, tas agak murahan.

Jam setengah sembilan malam itu, para jemaat gereja mulai berdatangan. Tua-muda mereka datang dengan sebagian besar berpakaian adat Bali lengkap seperti layaknya mau ke pura. Beberapa ibu dan remaja putri bahkan datang dengan rangkaian banten prani yang indah-indah sebagaimana odalan di pura. Aku dan Ibed mulai suntuk memotret. Aku membagi tugas, Ibed memotret dan mencatat kegiatan pemeriksaan para jemaat oleh petugas di pintu gerbang. Sementara aku dengan diantar oleh seorang penjaga gereja diajak masuk ke dalam gereja memotret seluruh rangkaian kebaktian malam itu.

Di pertengahan prosesi kebaktian, ada yang mencubit lenganku. Ternyata Lala. Aku terkesima. Betapa cantiknya gadis remaja ini. Tubuhnya yang tinggi semampai terbungkus gaun merah saga. Dia memang tak memakai pakaian adat Bali. “Aku ingin ngobrol banyak denganmu. Tunggu, ya,” bisiknya. Matanya menyorot tajam ke mataku. “Kamu terlambat datang,” kata-kataku tersekat di tenggorokan. Dan dia tentu tak mendengarnya karena telah menghilang masuk ke dalam deretan bangku jemaat lainnya. Aku melanjutkan memotret.

Di akhir rangkaian kebaktian ada pementasan Drama Natal. Aku keluar dan duduk di halaman gereja yang luas. Di langit mendung menggantung dengan beratnya. Aku memikirkan Lala. “Aku ingin ngobrol banyak denganmu. Tunggu, ya,” begitu bisiknya tadi.

Lala adalah salah satu bekas “muridku” di SMU Negeri 1 Denpasar. Tapi kampung halamannya memang di Palasari ini. Saat di kelas dua, tahun lalu, dia ketua teater sekolah dan aku pelatihnya. Sekarang dia sudah kelas tiga dan posisinya diganti oleh adik kelasnya. Selama ini hubungan kami memang sangat akrab. Dia tahu aku adalah laki-laki yang tak beruntung dalam cinta. Maksudku dalam rumah tangga. Karena aku bercerai dengan istriku sejak enam tahun yang lalu ketika usia pernikahan kami baru empat tahun berjalan. Sejak saat itu pula aku berpisah dengan kedua anakku yang masih kecil-kecil yang dibawa ibunya. Maka tanpa sepenuhnya sadar, di saat-saat latihan teater itu aku sering melamun membayangkan anak-anakku sudah besar dan ada di antara murid-murid yang aku latih. Mungkin saat melamun itu Lala sering memergoki aku. Maka dia datang dan menghiburku. “Anggaplah aku anakmu atau kekasihmu atau apa sajalah. Jangan melamun dan sedih. Nanti mati muda,” demikian dia selalu berkata sambil duduk di sebelahku seraya menyandarkan kepalanya di bahuku yang kerempeng. (Oh ya, perlu aku jelaskan, bahwa anak-anak didikku di teater sekolah itu semua menganggap aku ini temannya. Laki-perempuan bersikap sama akrabnya. Mereka biasa memelukku, bahkan yang laki-laki seenaknya saja memeluk bahuku seperti teman sebayanya. Sering kopi susu yang dibelikan untukku malah mereka yang menghabiskannya. Tak ada yang memperlakukanku sebagai seorang pelatih yang harus “dihormati” seperti mereka memperlakukan para guru kelasnya).

Lama-lama aku suka dengan cara Lala memperlakukanku seperti itu. Aku sering merasa membutuhkannya. Terutama saat aku sendirian di tempatku menginap di Denpasar selama masa latihan itu. Pernah ketika penyakit tiphusku kambuh tapi aku memaksakan diri untuk datang melatih mereka, Lala memberiku perhatian begitu besar. Dia mengurusku seperti entah mengurus ayahnya, atau kakaknya, atau mungkin kekasihnya. Hal-hal terkecil pun diurusnya, seperti misalnya mencukur daguku. Dan yang paling aku suka adalah ketika aku merasa sekujur badanku kepanasan, tanpa ragu-ragu dia meletakkan kedua telapak tangannya di kedua pipiku. “Tanganku dingin. Lebih dingin dari kompres air es. Tidurlah,” ujarnya sungguh-sungguh. Dan ajaib, saat itu aku memang merasa seperti dikompres air es. Sejuk sampai ke dalam hati. Aku benar-benar bisa tertidur di atas dua buah level yang disediakan anak-anak untuk aku istirahat. Tapi ya, sebatas itu. Aku sadar betul siapa diriku. Dan Lala juga tentu tahu betul bagaimana caranya menjaga hubungan kami.

Lala memang cantik. Tepatnya anggun. Agak tinggi, dengan rambut lurus panjang hingga sedikit di bawah bahu. Tidak terlalu putih, tetapi walaupun dia masih remaja, yang paling membawa daya tarik darinya adalah bentuk payudaranya yang sempurna. Aku tahu ini karena dalam latihan olah tubuh dia suka memakai kaos. Dan dia tahu kalau aku sering memperhatikannya. Saat-saat begitu, dia pun tertawa agak malu sambil meleletkan lidahnya.

Di luar sekolah ia ikut sebuah klub fashion cukup ternama di Denpasar. Maka kalau ke sekolah pun dia sering terpaksa membawa dua buah tas sekaligus. Satu tas untuk buku-buku pelajarannya. Satu tas (lebih besar dari yang satunya) untuk tempat perlengkapan fashionnya. Sehabis jam pelajaran dia tak pulang, tetapi langsung memimpin teman-temannya latihan teater dan sorenya langsung pula ke suatu tempat pergelaran mode.

“Aku ingin ngobrol banyak denganmu. Tunggu, ya,” begitu bisiknya tadi. Ya, memang sudah lama juga kami tak bertemu. Sekitar delapan bulanan. Karena kesibukanku di koran, aku terpaksa meninggalkan teater sekolah itu dan kini posisiku sudah diganti oleh sahabatku dari Sanglah, Frans Jatmiko. Lala, apa yang ingin kamu obrolkan denganku?

HP-ku berbunyi. “Segera kembali ke markas. Kita rapat mendadak. Ada perubahan untuk materi laporan utama kita. Cepat ya...!” Abang – pemimpin redaksi kami berkata dengan suara beratnya dari seberang sana. “Jam sebelas malam begini, Bang?” aku kaget. “Ya. Kami tinggal menunggumu!” sahutnya lagi lalu menutup hp-nya. “Kacau juga Si Abang. Ayo pulang,” aku mengajak Ibed sambil agak menggerutu.

Di tengah perjalanan pulang menuju kantor redaksi itu, hujan kembali turun agak deras. “Saya pusing dan kedinginan,” teriak Ibed yang memboncengku. “Sabarlah, sebentar lagi kita minum bir di kantor,” sahutku sekenanya. Kami melaju menembus hujan. Jalanan sepi sekali. Sesekali kilat menyala di atas kepala kami.

Memasuki perbatasan mau masuk kota, aku tersentak. “Bed, berhenti, Bed!” aku menepuk pundak Ibed. Ibed mengerem dengan keras.

“Ada apa?” tanyanya bingung.

“Aku lupa janjiku mau nginap di rumah.”

“Tapi kita kan mau rapat? Terus bagaimana?”

“Kamu sajalah yang rapat. Bilang sama Abang dan teman-teman, aku terlanjur berjanji dengan ayahku.”

“Lho, kendaraan kita kan cuma satu ini?” Ibed tambah bingung.

“Gampanglah. Kamu terus saja ke kantor. Aku akan menunggu bis di sini. Aku akan mencegat bis Jawa. Mereka pasti mau. Aku sudah pernah, kok,” aku meyakinkannya.

“Bagaimana kalau antar saya saja dulu ke kantor, nanti baru Bli balik lagi...,” usul Ibed.

“Tak cukup waktu. Percayalah. Kau berangkat saja sekarang. Tinggalkan saja aku di sini,” aku meyakinkannya lagi.

Ibed tahu kalau aku memang tak pernah mau mengalah darinya. Maka tanpa bicara lagi dia berangkat. Aku berdiri di bawah pohon di pinggir jalan itu menunggu bis. Hujan dan gelap menyatu seperti hendak menelanku.

Sepuluh batang rokok aku habiskan sudah. Sepuluh bis telah aku cegat tapi tak satu pun mau berhenti. Sepuluh truk juga, tapi sama saja. Mereka tetap melaju dengan kencangnya. Sementara hujan semakin deras dan pakaianku telah basah hingga ke dalam. Aku menggigil. Ingin juga aku menelpon teman-teman untuk menjemputku. Tentu mereka sudah selesai rapat dan juga sudah pulang ke rumah masing-masing. Tapi tidak. Aku tak ingin merepotkan mereka yang tentu saja juga sangat lelah. Aku ingin naik bis, pulang dan menginap semalam saja di rumah. Aku sudah berjanji dengan Ayah. Aku ingin menepati janji sekali saja. Aku harus bertahan di sini menunggu bis yang mau mengangkutku.

Negara, 25 Desember 2002

1 komentar:

Bagus sekali cerpennya ada romannya juga....
kutemukan kebahagianmu disini hehehe....

Posting Komentar

 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

cerita pendek NANOQ DA KANSAS © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu