Minggu, 27 Juli 2008

Dongeng

“CERITAKAN padaku sebuah dongeng. Apa saja,” demikian pesan pendek itu tertulis dalam layar handphone-ku. Di bagian atas pesan itu tertera nama seorang gadis remaja yang belum lama ini aku kenal di suatu tempat di kotaku.

Malam yang berhujan. Daun-daun riuh oleh tikaman air yang lebih meniru rupa jutaan lidi-lidi tajam yang dihempaskan begitu saja dari langit. Lensa kaca mataku tiba-tiba terasa perlu digosok. Stasiun Kereta Api Gubeng – Surabaya, di mana aku menunggu sebuah kereta berangkat ke Banyuwangi kemudian akan menyambungkan perjalananku ke Denpasar dengan bus milik perusahaan kereta itu juga, mendadak jadi sesuatu yang serba kelam, tua dan seperti telah lama sekali ditinggalkan.

Apa gerangan maksud gadis remaja itu tiba-tiba meminta aku mendongeng? Aku tak segera menanggapi pesan pendek itu. Dalam gemuruh hujan yang kian deras, aku mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan saat aku mengenalnya pertama kali.
***

ADA cahaya merah remang yang seperti tersipu di ruang seluas lima belas kali dua puluh meter itu. Ada denting gelas dan botol-botol softdrink bercampur bau tipis alkohol di antara alunan nomor-nomor jazz ringan yang merambat singgah ke setiap meja. Ada berbagai bau parfum yang juga merambati ruang bersama udara delapan belas derajat Celcius yang dihembuskan empat buah AC di langit-langit. Ada suara-suara tawa dan gumam yang tertahan dari hampir setiap meja. Kafe, ya kafe kecil itulah yang mempertemukan kami pertama kali.

Sesudahnya, sekali pernah kami bertemu di taman kota sore hari. Waktu itu aku mendapat kesempatan dari mantan istriku untuk mengajak dua anak-anak kami yang kini kelas empat dan kelas satu sekolah dasar untuk berjalan-jalan. Aku bertemu gadis remaja itu dengan seorang pemuda gondrong bersemir merah di dalam sebuah sedan yang diparkir di bawah pohon palem. Dia yang menyapa lebih dulu.

“Inikah anak-anakmu?” ujarnya seraya keluar dari sedan itu. “Sudah besar-besar ya. Kapan ke sini?” tanyanya lagi seraya mencoba menyalami kedua anakku yang terlihat bingung karena merasa tak mengenalnya.

“Sudah seminggu. Mari, kami mau jalan-jalan dulu,” potongku cepat. Aku melihat anak muda gondrong di dalam sedan itu agak terganggu oleh kehadiranku dan anak-anak.

“Hati-hati ya. da da...,” gadis remaja itu melambaikan tangan sembari masuk lagi ke dalam sedan.

Pernah pula aku melihatnya sekitar jam sembilan malam keluar dari dalam kafe tempat kami bertemu pertama kali. Kami tak sempat bertegur sapa. Aku yang baru datang dan memarkir motor, hanya sempat melihatnya tergesa masuk ke sebuah van warna gelap lalu melesat menembus malam.

Terakhir aku melihatnya masih dengan seragam sekolah di sebuah swalayan menjelang petang. Aku melihat gadis remaja itu di etalase sepatu. Dia tampak gembira sekali melihat-lihat pajangan sepatu sehingga tak sempat melihatku. Pundaknya dipeluk oleh seseorang, lelaki setengah baya yang saat itu masih berpakaian safari kantor – mungkin ayahnya. Dan aku tak ingin mengganggunya. Aku cepat-cepat berbelok ke lorong lain menuju pusat barang elektronik.
***

“CERITAKAN padaku sebuah dongeng. Apa saja,” demikian malam ini gadis remaja itu menulis pesan pendek ke handphone­-ku. Malam yang berhujan. Daun-daun riuh oleh tikaman air yang lebih meniru rupa jutaan lidi-lidi tajam yang dihempaskan begitu saja dari langit. Lensa kaca mataku tiba-tiba terasa perlu digosok. Stasiun Kereta Api Gubeng – Surabaya, di mana saat itu aku menunggu kereta berangkat ke Banyuwangi, mendadak jadi sesuatu yang serba kelam, tua dan seperti telah lama sekali ditinggalkan.

Masih juga aku belum menanggapi pesan pendek itu. Setelah merangkai kembali kepingan-kepingan kenangan perkenalan dan perjumpaan kami yang beberapa kali itu, aku masih bertanya-tanya sendiri, penasaran. Apa maksud gadis remaja itu tiba-tiba meminta aku mendongeng? Adakah ia pikir aku selama ini tukang dongeng? Ataukah dia sedang menyindir bahwa apa-apa yang aku kerjakan sebagai wartawan selama ini hanya dongeng? Aku jadi gelisah. Kalau demikian, berarti aku harus bertemu dengannya, menjelaskan bahwa semua yang menjadi berita-berita di koranku itu fakta adanya. Sama sekali bukan dongeng. Bahwa, aku bukan pendongeng.

Ah, tiba-tiba dia memintaku mendongeng. Jangan-jangan dia serius dan memang ingin sekali didongengi. Tapi kenapa dia menyuruhku dan bukan orang lain? O, mungkin dia tidak punya orang lain. Setidak-tidaknya, mungkin dia tak punya kakak atau ibu atau nenek yang bisa mendongeng untuk dirinya. Baiklah, aku siapkan sebuah dongeng. Di dalam kapal saat suatu kali menyeberang di selat Bali, aku pernah membeli sebuah buku dongeng. Aku masih ingat beberapa dongeng di dalamnya dan bisa saja aku ceritakan pada gadis remaja itu sekarang.

Tapi tunggu! Jangan-jangan dia benar-benar sedang menyindirku. Dengan kata yang lebih kasar, sesungguhnya dia berkata bahwa apa yang kukerjakan selama ini yang kemudian kusebut sebagai berita-berita, sebagai laporan utama, opini dan sebagainya itu baginya tidak lebih sebagai sebuah dongeng pengantar tidur. Sialan, aku tersinggung. Aku bingung.

“Tapi, memang adakah yang bukan dongeng di dunia ini? Apakah yang sesungguhnya bukan dongeng?” Seorang perempuan tua di sebelahku – yang sama-sama menunggu kereta berangkat – yang dengan terpaksa aku tanyai dongeng apa yang bagus untuk seorang gadis remaja, balik bertanya.

“Tentu saja banyak, Bu,” jawabku hormat.

“Apa misalnya?”

“Hm, banyak. Banyak sekali. Misalnya...,” entah kenapa aku tiba-tiba lambat sekali berpikir.

“Ayo, apa yang bukan dongeng? Demokrasikah? Pemerintahkah? Ataukah barangkali rakyat macam kita yang bukan dongeng?”

“Astaga, Bu! Saya, saya hanya....”

“Sebentar! Saya juga mau tanya kepada sampean, apa yang bukan dongeng?” Perempuan tua itu bertambah ngotot.

Aku mulai merasa njelimet. Hanya gara-gara bertanya dongeng apa yang bagus untuk seorang gadis remaja, seorang perempuan tua bahkan tiba-tiba menjadi begitu marah. Maka aku diam. Aku biarkan entah apa lagi yang dikatakan perempuan tua di sebelahku itu.

Aku jadi teringat berbagai berita buruk yang aku tulis dan juga ditulis teman-temanku sesama wartawan di berbagai media massa. Ada yang menulis berbagai bencana, soal kemiskinan, ketakadilan, soal korupsi di berbagai instansi, manipulasi besar-besaran di berbagai bank dan di berbagai sumber keuangan milik negara. Adakah berita-berita mereka itu telah bisa memperbaiki atau setidaknya merubah keadaan menjadi lebih baik? Ada juga yang menulis soal berbagai pembunuhan di berbagai tempat. Apa pula maksudnya? Adakah laporan-laporan mereka itu untuk membuat orang-orang menjadi ngeri dan menyadari bahwa pembantaian itu adalah sesuatu yang keji dan tak manusiawi? Tetapi kenapa setiap keesokan harinya masih saja ada pembunuhan dan pembantaian-pembantaian baru yang kembali ditulis dan diberitakan? Bahkan, kenapa dalam sebuah bangsa terus saja ada pembantaian satu sama lain yang tak kunjung henti? Kenapa sebuah bangsa bisa saling bantai dan saling melenyapkan satu sama lain?
Aku makin jelimet. Kalau begini terus aku bisa mampus sendiri di tengah-tengah tertawaan orang yang melihat aku sebagai binatang aneh dengan sesuatu yang keluar menjulur-julur dari kepalaku.

Maka, baiklah adik, aku dongengkan saja untukmu sesuatu yang paling sederhana: cinta!

Dan kereta api berangkat. Maka dalam kereta yang bergemuruh merangkaki malam itu aku pun mendongengkan sebuah cinta. Aku terus mendongeng, sampai gadis remaja itu benar-benar terlelap di sebuah kamar, entah di mana.***


Surabaya – Bali, suatu malam

2 komentar:

cerita Qmu bagus enZZ luM@yan menarik But mungkin LebiH b@gus Lgee ditamgbah dengan Alur Crita jang mempunyai kata -kata jang puitis page jang ngebuat para membaca makin cwerius.thanks!!!~niesha~

Posting Komentar

 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

cerita pendek NANOQ DA KANSAS © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu