Minggu, 27 Juli 2008

Sebuah Negeri, Jangan-jangan Tak Sempat Mendengar

  • “Namaku Saraswati. Kenapa bukan Saraswita?” tanya gadis remaja itu kepada kekasihnya. Sang kekasih bergeming. Ia berada jauh di sebuah negeri yang tak pernah dewasa. Negeri dengan sebuah kebebasan yang tak pernah dipahami. Negeri dengan sopan-santun yang tak pernah lebih dari sebuah basa-basi. Sebuah negeri yang selalu riuh sendiri dalam peta dengan bagian-bagian tertentu yang selalu terbakar sendiri.
Di televisi, para pembesar, politikus, budayawan, ahli hukum, ekonom, agamawan, sepanjang hari itu, minggu itu, bulan itu, memenuhi jam-jam siaran dengan berbagai argumen tentang masa depan sebuah bangsa. Mereka berdebat sepanjang waktu mengenai kebobrokan pemerintahan, kekuasaan, hukum, politik, perekonomian, moral dan seterusnya. Mereka berpendapat soal-soal rakyat dan generasi muda yang harus bangkit melawan, melawan dan melawan segala ketimpangan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, dan seterusnya. Di sanalah dia, sang kekasih gadis remaja itu berada. Tetapi bukan sebagai siapa-siapa, bukan sebagai salah satu yang senantiasa berdebat, berargumen atau berpendapat itu. Tetapi dia hanyalah semacam gumpalan tanah liat yang ditaruh di tengah-tengah meja tempat berdebat yang terus disorot kamera televisi itu.

“Beginilah seharusnya demokrasi...,” seorang ahli tata negara dengan sederet gelar di depan dan belakang namanya menjulurkan tangan. Gumpalan tanah liat itu diremas-remasnya membentuk lempengan lalu didadarkan di atas sebuah nampan plastik.

“Ya ya, tetapi tentu saja tak sesederhana itu...,” serobot seorang budayawan botak berkacamata tebal seraya meremas-remas kembali lempengan tanah liat itu menjadi sebuah bangunan menyerupai benteng. Di sekeliling temboknya terpajang tiang-tiang dengan bendera berkibaran di antara deretan senapan mesin dan tank-tank yang siap memuntahkan peluru.

“Nanti dulu. Bila politik tak mampu menunjukkan itikad baiknya...,” sergah seorang agamawan lantas meremas-remas lagi gumpalan tanah liat itu menjadi bulat telur. Ajaib, begitu gumpalan bulat telur itu diletakkan, tiba-tiba saja gumpalan itu retak dan mengeluarkan semacam asap. Asap itu pun lalu mengalir keluar melalui udara di lubang-lubang ventilasi, lubang-lubang pengatur suhu ruangan, lubang-lubang pembuangan, memenuhi kota. Lalu jalanan, lorong-lorong kumuh, terminal, ribuan penduduk miskin membanting-banting dirinya. “Lari! Ada gas air mata!” teriak mereka.

Sementara itu di meja perdebatan, para pembesar, politikus, ahli hukum, budayawan, agamawan serta para ekonom tak henti-hentinya bersalaman dan saling rangkul. Bersalaman lagi, saling rangkul lagi, begitu saja mereka. Tak sebaris kalimat pun pernah selesai mereka ucapkan. Sesekali kamera televisi menangkap jemari mereka yang saling remas pada bagian-bagian sensitif tubuh mereka. Bahkan ketika lenguhan nafas itu berujung, tetesan air liur mereka begitu jelas terdengar dari sepasang speaker televisi dengan tata suara surround itu. Suara tetesan air liur muncul dari mana-mana.
  • “Namaku Saraswati. Kenapa bukan Saraswita atau yang lain? Kenapa kamu adalah dirimu dan bukan orang lain misalnya?” gadis remaja itu kembali bertanya. Sebuah negeri, tetap dalam keriuhannya. Sebuah negeri, jangan-jangan tak pernah peduli ada seseorang yang bertanya begitu. Sebuah negeri, jangan-jangan tak pernah tahu ada seseorang yang bernama Saraswati. Dan, apa sih pentingnya sebuah pertanyaan “siapa aku” bagi kelangsungan sebuah negeri yang berpenduduk dua ratus juta lebih misalnya?

Mungkinkah gadis remaja itu telah sedang mengadakan sekaligus meniadakan dirinya sendiri? Maka aku teringat sebuah novel berjudul “Dunia Shopie”. Sebuah novel filsafat yang dimulai dengan sebuah pertanyaan: Siapakah kamu? Aku teringat berbagai ulasan filsafat dan bahkan agama dengan pertanyaan yang sama. Aku teringat, pertanyaan itu tak pernah mendapatkan jawaban yang berujung. Aku teringat, pertanyaan itu telah pernah dilontarkan Arjuna kepada Sri Kresna dalam sebuah ephos ribuan tahun lampau di tengah kecamuk perang di Kurusetra. Aku teringat, diriku yang tak akan pernah tiba pada sebuah jawaban pun untuk pertanyaan yang sederhana itu.

Di layar televisi gambar berubah. Hutan-hutan sebagian dibakar, sebagiannya lagi menurut pemerintah konon dijarah orang-orang tak dikenal. Lucu, rakyat sendiri kok konon tak dikenal. Asap kelabu, gemeretak ranting dan bunga api. Di sebuah desa, tampak ayah dan ibuku dan para tetangga menyanyikan lagu-lagu kemakmuran negeri sembari mencangkuli dengan geram rekahan-rekahan tanah yang terus mengeras akibat pupuk kimia.

Beberapa minggu kemudian, sawah-sawah dan ladang-ladang hijau ranum. Sepanjang pematang, sepanjang aliran sungai, beterbangan pendaran cahaya hari esok yang gembira. “Bukan lautan, hanya kolam susu...,” adik-adikku yang masih kecil-kecil itu berjoget lagu dangdut yang ditirunya dari sobekan-sobekan laporan pembangunan yang jatuh dari mobil para penyuluh pertanian. Sayang sekali, belum genap bait-bait itu dilagukan, dalam gambar televisi tampak adik-adikku telah menjadi mayat gara-gara berbagai wabah penyakit kelas dunia ketiga semacam demam berdarah, muntaber, malaria atau keracunan makanan kedaluwarsa, atau keracunan makanan dari daging-daging hewan yang belakangan baru diketahui telah tercemar kuman penyakit yang aneh-aneh sekali namanya. Ayah ibuku dan para tetangga menjerit menerima kenyataan harga gabahnya tak mampu menebus hutang pupuk di koperasi unit desa. Pasar dan dapur para pejabat, pasar dan dapur para politikus, pasar dan dapur para ekonom, pasar dan dapur para budayawan, pasar dan dapur para agamawan, pasar dan dapur para lembaga swadaya masyarakat tertimbun beras impor dari negara sebelah.

“Turunkan bupati!” teriak ribuan guru sekolah sembari dengan gembira bolos mengajar. Maka para siswa yang ditinggalkannya beramai-ramai melepas baju seragam lalu masuk televisi menjadi bintang sinema elektronik, penari latar para penyanyi, dan ada juga yang jadi pelawak. Anehnya, direktur jendral kebudayaan masih saja mengeluh kesulitan mencari aktor dan aktris, kesulitan mencari duta-duta kebudayaan untuk dikirim ke luar negeri. Masyarakat akhirnya terpaksa membeli film-film Hollywood, Mandarin dan India bajakan di sepanjang trotoar, kaki lima, mall, hanya untuk sekedar memenuhi hasrat menonton tontonan bermutu.

“Turunkan presiden!” sahut para mahasiswa sembari membakar bendera bangsa di sebuah perempatan dekat hotel berbintang tempat para turis asing melihat-lihat keindahan sebuah negeri di garis khatulistiwa.

Gambar televisi berubah lagi. Para mahasiswa ditangkapi polisi. Ada yang berdarah segala. Ada beberapa yang (lagi-lagi konon) hilang. Ada yang ditemukan beberapa tahun kemudian setelah berganti nama menjadi: yang terhormat wakil rakyat.
  • “Namaku Saraswati. Kenapa bukan Saraswita?” tanya gadis remaja itu kepada kekasihnya. Sang kekasih bergeming. Ia berada jauh di sebuah negeri yang tak pernah dewasa. Negeri dengan sebuah kebebasan yang tak pernah dipahami. Negeri dengan sopan-santun yang tak pernah lebih dari sebuah basa-basi. Sebuah negeri yang selalu riuh sendiri dalam peta dengan bagian-bagian tertentu yang selalu terbakar sendiri.
Aku mulai menimang-nimang pikiran sendiri. Siapakah aku? Siapakah aku ketika misalnya ditanyai seperti itu oleh seseorang? Siapakah aku kecuali sesuatu yang kemudian disebut anak dan diberi nama sebagai sekedar tanda oleh kedua orang tuaku, disebut cucu oleh kakek dan nenekku, disebut keponakan oleh paman dan bibiku. Selanjutnya namaku dimasukkan dalam kartu keluarga dan dicarikan kartu tanda penduduk. Oi, aku jadi penduduk sebuah kampung, sebuah desa, sebuah kecamatan, sebuah kabupaten, sebuah provinsi, sebuah negeri. Tetapi siapakah aku kecuali sesuatu yang berangkat tumbuh dengan segala sesuatu yang juga tumbuh bergerak di sekitarku.

Hari ini, siapakah aku kecuali sesuatu yang bertanya siapakah aku. Sesuatu yang setiap saat bisa saja ditanyai oleh kekasihnya: siapakah aku?

“Namaku Saraswati. Kenapa bukan Saraswita atau yang lainnya?” Gadis remaja itu terus bertanya kepada kekasihnya. Sebuah negeri jangan-jangan tak sempat mendengar pertanyaan itu. Sebuah negeri terus bergerak melahirkan sesuatu yang juga terus bertanya siapakah aku?


Dusun Moding - Jembrana, suatu hari

0 komentar:

Posting Komentar

 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

cerita pendek NANOQ DA KANSAS © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu