Minggu, 27 Juli 2008

Ke Setiap Rumah Lelaki yang Menjadi Ayah

“PERNAHKAH ayah berpikir, bahwa cukup pantaskah ayah disebut seorang pahlawan bagi kami?” tiba-tiba lima anak saya bertanya serempak. Pertanyaan itu mereka utarakan ketika saya sedang bersantai menikmati cuaca sore yang cerah di kebun belakang rumah kami yang sederhana, di atas kursi goyang antik oleh-oleh salah satu menantu, di tengah hamparan rumput kasur nan hijau, di antara berbagai tanaman perdu tertata rapi, di sudut barat laut kolam kecil buatan seorang tukang taman paling ternama di kota kami.

Saya terkesima. Takjub memandang mulut-mulut yang menempel indah di wajah anak-anak saya dari yang paling besar hingga yang paling bontot itu. Saya terkesima oleh kekompakan mereka. Tumben mereka menghadap saya sekompak itu. Sebelumnya tak pernah. Sebelumnya, entahlah.

Saya pandangi satu persatu tiga sosok gagah-gagah dan dua sosok cantik-cantik itu. Inilah mereka. Lima generasi penerus saya yang gagah-gagah dan cantik-cantik. Lima sosok buah cinta saya dengan istri, yang kini semuanya telah menjadi manusia dengan pekerjaan serta status masing-masing, yang bahkan telah memberi saya sejumlah cucu yang lucu-lucu dan bengal-bengal. Inilah mereka, lima anak-anak saya yang sekarang tumben-tumbennya datang berkumpul menghadap saya dan bertanya: “Pernahkah ayah berpikir, bahwa cukup pantaskah ayah disebut pahlawan bagi kami?” Edan! Mereka mendesak saya. Memojokkan saya ke suatu sudut yang paling samar dalam tempurung kepala saya. Menekan tubuh saya ke dalam ruang tak berdimensi di dada saya. Sialan! Saya menyipitkan mata, mencoba berpikir.

Selama ini, apa yang telah saya perbuat dan berikan kepada mereka? Saya mencintai istri saya, lalu mereka lahir satu persatu. Lalu saya dan istri saya merawatnya, memeliharanya sebagaimana orang lain melakukannya. Saya dan istri membesarkan mereka dengan segala sesuatu yang lumrah, sederhana, sesuatu yang mengalir sesuai dengan irama kehidupan yang kami temui, yang kami jalani.

Saya dan istri telah membesarkan anak-anak dalam sebuah keluarga yang menurut saya wajar-wajar saja dan sebagaimana mestinya. Kalau mereka saya anggap bersalah, saya menegurnya. Kalau mereka saya anggap nakal, saya memarahinya. Memukul pantatnya atau menjewer telinganya, sesekali menstrapnya berdiri menghadap tembok beberapa puluh menit. Saya memuji atau memberi hadiah untuk sesuatu yang membuat mereka pantas menerimanya. Mengajak mereka bercanda, berdiskusi, berbeda pendapat, atau menyepakati suatu hal atau mengajak mereka melupakan sama sekali hal-hal yang patut dilupakan. Saya mengajak mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang pantas mereka kerjakan.

Sumpah! Saya sungguh merasa telah memberikan semuanya kepada mereka, kepada anak-anak saya itu. Mengajak mereka menjalani dan menikmati kehidupan ini dari tetesan keringat saya yang paling perih sampai ke dalam kejayaan yang paling mashyur dalam sejarah hidup saya. Bahkan darah dan sumsum tulang saya telah saya berikan. Napas saya. Jiwa saya. Cinta saya. Kasih sayang saya. Nurani saya. Ketakberdayaan saya. Kegilaan saya. Apa-apa saya.

Dan sekarang, tiba-tiba mereka datang serempak dengan mulut yang kompak bertanya kepada saya: “Pernahkah ayah berpikir, bahwa cukup pantaskah ayah disebut seorang pahlawan bagi kami?”

Sialan! Betapa manis-manisnya mereka saat mengucapkan kata-kata itu. Betapa sederhananya mimik mereka saat memberondongkan pertanyaan itu tepat ke jidat saya. Dan alangkah tiba-tiba remangnya cakrawala di atas kepala saya. Saya tak mengerti, kenapa tiba-tiba saya merasa terdesak di sebuah sudut yang paling samar dalam pengalaman saya. Kenapa tiba-tiba saya merasa tertekan pada suatu wilayah tanpa dimensi.

Mata saya berkunang-kunang. Mungkin agak capek. Dan mereka, kelima anak-anak saya itu, belum juga bergerak sedikit pun dari depan saya. Mereka masih menunggu. Malah kelihatan semakin berhasrat akan jawaban dari mulut saya. Dalam kesamaran pandang, saya lihat mereka tak berkedip menatap saya. Bahkan napas-napas mereka terasa menyentuh pipi dan tembus ke tengkuk saya. Saya pejamkan mata. Kursi goyang terasa bergerak sendiri. Mengayun-ayun tubuh dan perasaan saya.

Entah berapa lama, saya terus bisu. Lalu saya merasakan tangan-tangan mereka, tangan-tangan anak-anak saya itu mulai tak sabar. Mereka mulai mengguncang-guncang tubuh saya. Dan mulut-mulut mereka masih mengulang pertanyaan yang sama: “Pernahkah ayah berpikir, bahwa cukup pantaskah ayah disebut seorang pahlawan bagi kami?”

Saya rapatkan kelopak mata. Sampai kemudian perlahan-lahan saya merasakan tangan-tangan itu mulai menggerayangi tubuh saya. Mula-mula mereka mencongkel-congkel kelopak mata saya dengan telunjuk, lalu mereka mendongkel mulut saya dengan seluruh jari-jari mereka. Kemudian tangan-tangan itu berpindah ke dada saya. Tangan-tangan yang kekar dan tangan-tangan yang halus itu mulai menarik-narik kulit perut dan juga tulang iga saya, mengangakan seluruh rongga dada saya. Mereka mengorek-ngorek terus di sana. Mencari dan terus mencari dengan semakin penasaran. Kian lama tangan-tangan itu kian tak terkendali. Dan dengus napas mereka pun berubah menjadi lenguh mahluk yang tak saya kenal sama sekali. Tapi saya tetap bisu. Saya tetap...

Barangkali wajah, dada, perut, kepala dan seluruh tubuh saya telah porak poranda oleh mereka ketika saya membiarkan diri saya melayang perlahan-lahan dari kursi goyang itu. Saya melayang meninggalkan mereka. Meninggalkan tanaman perdu, rumput hijau, kolam kecil..., dan dengan diam-diam saya melayang terbang menuju ke setiap rumah lelaki yang menjadi ayah.***


Bali suatu senja.
Untuk almarhum Wayan Mandra, ayahku, yang telah mengajarkan kehidupan dan cinta yang sederhana kepada kami anak-anaknya

0 komentar:

Posting Komentar

 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

cerita pendek NANOQ DA KANSAS © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu